Sabtu, 06 Juli 2013

Tak Pergi



Pernah berpikir tuk pergi
Dan terlintas tinggalkan kau sendiri
Sempat ingin sudahi sampai disini
Coba lari dari kenyataan

Tapi ku tak bisa, jauh, jauh darimu

-SLANK- Ku Tak Bisa

Iya, ini lagu galau, tapi postingan ini bukan tentang kegalauan sepasang kekasih. Jauh sekali dari perkara itu.

Bicara tentang pergi, bicara tentang hati.
Bicara tentang memori diri.

Diri ini dengan segala keakuan, ego dan emosi yang tak menentu, kadang surut namun lebih sering pasang.
Diri yang sempat juga berpikir pergi. Meninggalkan rumah, ukhuwah, dan saudara seakidah.
Diri yang sempat merasa tak lagi memiliki eksistensi, tersakiti hingga diam-diam menangisi emosi.
Diri yang marah pada waktu, ruang dan daya tampung yang tak lagi punya daya menampung.



Kala senyum tak lagi mengobati luka, jabat tangan tak mampu menjadi media atas kata yang penuh siksa, duduk bersama tak juga mampu melebur kekakuan kata. Kala kata kita tlah hilang, menjadi aku dan anda.
Aku memutuskan terdiam sejenak, menarik sulur yang kian rumit, mencoba menemukan ujung agar simpul lebih jelas kepandangi.

Aku berpikir tuk pergi, toh cinta akan tetap dihati sebagai memori penuh senyum dan riang bibir tertarik kesamping.
Toh, dakwah ini akan tetap ku pikul, kau juga begitu. Toh, melepas kini menjadi titik batas, tak ada pilihan, pikirku.

Namun kesadaran menghantamku lepas, melepas keakuanku, melepas keegoisan berbalut rasionalitas, yang ternyata hanya emosi berkedok alasan pergi.

Bukankah sebagai manusia, tersakiti menyakiti tlah menjadi seperti rutinitas, yang bahkan tanpa sadar, tanpa pikir panjang, dan kadang tanpa perlu ada alasan. Terjadi begitu saja, dan ingatan dengan gampang menyingkirkan. Hingga ternyata kebencian tlah memuncak dan tinggal menunggu waktu untuk meledak.
Aku tlah sampai disana, alih-alih meledak, aku tersungkur melemah, menatap kekelaman hati yang penuh benci pada saudara sendiri, menatap kepucatan raut yang terselimuti senyum drama penuh pura.
Aku mengaku kalah.

Kalah pada cinta lewat lantunan doa yang diam-diam kau selipkan disujudmu tiap malam, kalah pada senyum penuh warna yang kau beri tanpa pamrih, tanpa pubikasi berlebih.
Kalah pada tiap pelukan sayang saat aku jatuh sendirian, kalah pada kepeduliaan, kalah pada semuanya, pada tiap ketulusan yang kau tawarkan, sudah, aku mengaku kalah.

Kembali ku rangkai frasa per frasa, lama ku korek memori tentangmu, kalian semua yang ternyata setelah kucari, kutemukan semua tersimpan rapat dihati, terkunci, kukorek lemari, mencari kunci pemahaman, pengertian dan kesabaran, kubuka pintunya, dan aku menatap menganga dengan binar wajah yang tak mampu berpura, ruang itu penuh cahaya dengan lullaby merdu, butir-butir salju dan suara-suara kasih yang menggetarkan hati.

Aku tersadar, selama ini aku melupakan kunci penyatuan yakni pemahaman, pengertian dan kesabaran, aku tersesat dan dengan bodohnya malah menyalahkan waktu dan kamu.
Aku sibuk bersungut dalam kegelapan, berkali jatuh, menabrak hingga lesu dan terisak kelelahan. Kau disana, kalian semua, tak sinis, tak juga menyuruh si pengeluh ini pergi, malah melambai tangan dengan cahaya yang seolah berkata "tak apa, kau boleh marah, tapi jangan pergi, karena kau akan sendiri. " 

Membuatku malu dan dengan perlahan mendekat untuk menggapai tangan-tangan besar penuh hangat yang terulur keluar. Kini aku tahu, kamu, kita, bukanlah kumpulan malaikat yang tak pernah ingkar maupun bosan. Kita hanya manusia, tak ada jaminan untuk tak saling menyakiti dimasa depan, kita hanya mampu mencoba, mencoba bertutur dengan lebih sederhana tanpa saling cela, mengingatkan tanpa merasa kuasa, mencintai dengan kata, laku, dan tak lupa doa.

Terima kasih untuk hari ini saudaraku. Kembali kau ajarkan aku mencinta tanpa takut luka, karena masing-masing kita tlah siap dengan berkantong-kantong kata maaf tanpa diminta.

Semangat saudaraku, semangat berkontribusi untuk rumah yang mempertemukan kita, yang pintu gerbangnya terbuka dengan kunci senyum diwajahmu, yang terisi dengan celoteh riang, yang setia membungkus warna-warni pribadi kita. FSPI, kami mencintaimu.
Dan terima kasih tlah bersedia menemani hari-hariku belajar, dengan sabar dan penuh pengertian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar