Selasa, 28 Mei 2013

Dan Aku Tahu Alasannya


Gadis itu terdiam lagi, menutup pintu dan memagarinya dengan pecahan kaca bening yang tajam. Tak menghidupkan lampu, tanda enggan diganggu.

Aku mengintip, menyelidik, mencoba mencari tahu dan turut campur.

Kau ingat apa isi percakapan serius terakhir kita ? Tentang pagar yang kau bangun untuk melindungi dirimu yang sebenarnya.

Kini, entahlah melankolik tengah memelukku rapat atau rasa rindu untuk bicara seperti dulu bergema kuat ? Aku tak mengenal dan merasa familiar dengannya.

Kesibukkan, teman baru dan kehidupan yang lebih membahagiakan kini kuharap kau kecap. Tlah banyak tangis, bentak tak enak, acuh mengeluh, dan gundah yang tak mampu terbagi kau rasakan, kini kutersenyum dalam diam, dalam rindu yang hanya mampu kugumamkan, dalam lirih doa dan sepenggal nama.

Kamis, 23 Mei 2013

Gamang



Membacanya membuatku kian gamang, namun sayang tali telah terulur keluar.

Bolehkah aku menjadi egois, tak peduli pada bertumpuk harapan dipundak ?

Membangkang untuk kemudian terbang bebas, menjangkau dunia baru, wahana bermain seru yang benar membuat mataku terpaku gagu dan mendecak seru.

Aku telah bertengkar dengan Andai, karena berkali aku terseret tak mampu menghindar dari kekecewaan yang tak berpagar penghalang.

Bagai batere radio tua, gejolak itu membuatku terpental-pental oleh hasrat, sementara tubuh tuaku kian reot dan tak kuat.

Bolehkah kubisikkan diam-diam pada takdir atau perlu bertaruh dengan masa depan hanya untuk sebuah kata keterlambatan ?

Ah, aku kembali pesimis, setelah bertumpuk buku, beruntai kata dan penggalan kalimat mengusik tidur dan mengintervensi pikiran, kini tinggal aku dan bingung, mencoba menebak apakah masih ada waktu untuk asa atau hanya sia untuk kata aku tlah mencoba.

Selasa, 21 Mei 2013

Pendidik, Pendidikan, Berpendidikan






Pagi ini nuansa belajar mengajar masih kita dapati, diskusi-diskusi panjang dengan jubalan opini-opini baru dari para pakar sedang digodok matang dan dibagian lain terpisah jarak dan daya pandang sedang duduk berjubel anak-anak sekolah dengan seragam terbaiknya.

Pendidikan masih merupakan nafas tanah ini, meski kebobrokan tak jua meluntur dan berangsur pergi, berita terakhir tentang pendistribuasian soal dan pencabutan adanya Ujian Nasional di Sekolah Dasar menjadi salah satu topik seru.

Bagi kita para mahasiswa yang sedang menjalani proses panjang pendidikan mungkin terasa miris dengan fakta lapangan sekarang yang tak sesuai amanat pendidikan. Kusut masai praktiknya seakan membuat kita lupa dengan tujuan sejati proses pendidikan itu sendiri.

Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bunyi pasal 33 ayat 3 UUD.

Sedangkan pada UU Sisdiknas 2003,disebutkan bahwa pendidikan bertujuan untuk

Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab .

Namun sayangnya ranah filosofi dari pendidikan ini seakan tak tersentuh, tergusur oleh nilai kognisi yang mengabaikan nilai-nilai karakter dan afeksi.

Pendidik sebagai punggawa vital atas tertransfernya nilai-nilai yang humanis dan berkarakter tentu diharapkan mampu meningkatkan kualitasnya,

Riilnya bagi kita manusia-manusia yang tengah menjalani proses dan mengaku sebagai makhluk berpendidikan tak hanya acuh, apatis atas PR besar perbaikan Negara ini, pendidikan tak hanya menjadi ranah mahasiswa FKIP, tak hanya menjadi tugas dosen dan guru, atau para penampu kekuasaan di istana, ini mega proyek perbaikan, menjadikan pendidik mamahami betul apa itu pendidikan hingga mampu menghasikan output siswa, mahasiswa, manusia-manusia terdidik yang tak hanya hapal rumus dan teks pelajaran namun juga memenuhi nilai-nilai karakter yang penting agar terciptanya manusia-manusia berpendidikan yang tak hanya cerdas namun juga bermoral.

Penutup, mengutip pengantar untuk buku Kelasnya Manusia, karya Munif Chatib dan Irma Nurul, Mizan, 2013
Banyak penelitian mutakhir telah menunjukkan betapa, bukan hanya pencapaian kebahagian fisik, mental, dan spiritual, bahkan keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara dan kesuksesan karir individual lebih banyak ditentukan oleh kapasitas reflektif (sekaligus kreatif) dan kekuatan karakter (moral).

Minggu, 19 Mei 2013

Pakaian Utuh



19 Mei 2013, sayang bila tak diabadikan, sebuah momen besar untuk kami, dalam kebersamaan ini.

Cinta kupikir dulu kata benda, ia bebas dibawa dan esok bisa dengan mudah untuk dilepas.

Dakwah kuduga hanya sunah, sunah bagi mereka yang berjenggot dan berkudung tebal gerah.

Rumah acapkali kuanggap istana mewah, dengan segala kebutuhan tlah tersedia dan para punggawa untuk mengabulkan segala perintah.

Dan ukhuwah, apalagi itu, kukira hanya sepatah kata dengan makna absurd lagi tak terbaca. Hanya wacana.

Tak terbayang apalagi terterka diawal akan terlewatkannya masa, berbagi gejolak rasa, sempat tersirat rasa jengah, sakit hati, kecewa, tambal sulam kanan kiri, akhirnya kaulah yang menggenggam tangan ini sampai pada momen terakhir.

Kamis, 16 Mei 2013

Penyair Laut



Kau tahu apa yang paling dirindu dan dibanggakan oleh penyair ? Kata syahdu yang mampu membuat rona merah dipipimu kian bertumpuk dan membisu malu menunduk.

Aku terdiam, memaksaku terpaku dan merasa kejang, pesona macam apa ?

Membuatku menerkamu dan mulai menarik simpul diri, lalu apa aku ?

Kian erat berarti telah kian terikat, bila rasa tak mampu lagi untuk digambar lewat kata, lalu pantaskah sebuah pernyataan membuat semua kian tersurat lebat.

Aku mendengus, coba untuk menghapus sisa sisi imajinasi yang kian berkuasa.

Karena aku takut, lama ku halau, sengaja agar hulu tak pernah mencapai hilir yang berarus kuat.
Aku takut hilang keseimbangan, terombang ambing menjadi destinasi dan identitas diri, kala yang tak pernah kutunggu mencapai sisiku dan mendapat restu.

Maka biarlah sang penyair hanya terbang bebas, bebas merayu hingga ia lelah, hingga bersandar dan merindukan pulang menjadi impian, maka biarkan ia memilihnya, mencoba merebut atau menurut arus laut.

Kamis, 09 Mei 2013

Dalam Dekapan Ukhuwah, Mencintaimu Saudariku


Kita semua, anak adam, pernah melakukan kesalahandalam dekapan ukhuwah, kelembutan nurani memberi kitasekeping mata uang yang paling mahal untuk membayarnya
dikeping uang itu, satu sisi bertuliskan “akuilah kesalahanmusisi lain berukir kalimat, “maafkanlah saudaramu yang bersalah 
Salim A Fillah, Dalam Dekapan Ukhuwah 

Kumpulan frasa ini mencekikku kuat

Seperti memintaku membuka pintalan masa awal kita kenal

Kau tau ukhti, jelas sangat tahu bagaimana aku yang penuh luka dan kecacatan rasa, kau sentuh tangannya dalam jabat mesra tanda kita tlah saling kenal nama
Bagaimana aku dengan segala keburukkan dan ketidaktahuan kau tatih perlahan menuju sebuah proses pemaknaaan

Kita melewati prosesnya bersama, di surau itu, senja kian beringsut datang, kita membentuk lingkaran dengan akhwat-akhwat berkerudung rapi dan berwajah bercahaya penuh keimanan, ukhti cantik sang pengkaji memberi kita cerita yang begitu menyentuh sanubari, membuat kita malu akan kualitas diri yang selama ini kita pikir tlah mumpuni, tlah memadahi untuk membuktikan cinta yang purna pada Ia Sang Maha Esa.

Senin, 06 Mei 2013

Kala Bila



Kala, bila denganmu aku tak jua bosan

Kala, saling menggenggam dan melengkapi aku tak jua penat

Bila, kau panggil dengan merdu suaramu, aku hanya mampu kelu

Bila, kita tlah merajut rindu hasil rangkai benang hidup yang tak kendur maupun lapuk

Kala dan Bila tlah menjadi sepasang frasa tanya atas keambiguan dan penyesalan yang nyalang meminta korban.

Aku menjadi saksi tepuk riuh pergulatan kata yang terhimpun dalam dendang keras yang tak lagi malu untuk menusuk, tak lagi rikuh menghunus pedang dengan Kala dan Bila dimana-mana, tersebut berkali seolah menunjukkan kedikdayanya.

Nyatanya, Kala dan Bila disudut dunia sana, yang tak terjamah dengan kebisingan apalagi sorak berlebihan tengah berpegangan, mesra, seolah lupa dalam arena kadang mereka menjadi lawan yang tak kenal kemanusiaan, aku mengintip malu-malu, takut mengganggu, dan kini kisah itu kuceritakan padamu, kisah terlarang Kala dan Bila, yang entah kapan akan terkuak kebenarannya, aku hanya mampu menyambung ilmu, mencari pemahaman baru akan dunia yang terlalu penuh dusta, beragam tawa tak tulus dan jabat dengan seringai melebar dibelakang.

Aku hanya mampu jatuh kasihan, melihat di ujung peraduan, sisa sore itu mereka mesti berpisah, melambaikan tangan dan berpura-pura memasang wajah datar untuk kemudian kembali menjalani siklus yang telah  tertetapkan yang tak mampu dibekukan.

Apa Mau Mu Hatiku ?


Siluet remang itu lagi, terkias hitam dan bergerak kasar

Aku menantinya, menunggu untuk melihat dalam bisu, untuk menyibak rahasia dan kebungkaman yang kian menyiksa

Kenapa aura mengundang kecemasan masih terasa dari jarak yang berkisar kesekian

Cemas ataukah ada yang ditakuti, wahai bayang hitam tak bisakah sejenak kau jawab pertanyaaan ?

Kala malam itu akhirnya tlah ku jumpai jawab dari suara serak bayangan, itu aku, wajah dan tubuh menggelap
Begitu menyedihkan

Ia menuntut, kenapa kau gadaikan semua dulu ? ia berteriak nyaris membuat telinga tuli karena pekak
Ku kernyitkan dahi tanda tak mengerti

Dimana kau letakkan iman itu ? disudut belakang hati yang jarang kau tengok dan peduli ? atau malah tlah kau gergaji dan pasung dengan simpul mati ?

Minggu, 05 Mei 2013

TITIK TEMU


Terlalu banyak alasan yang ditawarkan ataukah pembenaran karena wangi dunia dan hiruk pikuknya masih begitu silau untuk ditinggalkan ?

Masih begitu mudah kata nanti, esok dan alasan manis terbungkus kiasan-kiasan yang dilontarkan dengan nada tak ikhlas, kepayahan, dan dengus bosan dibelakang.

Itu membelenggumu, kian jelas racau setan untuk melepas segala perlindungan.
Sementara tidakkah ingat yang Alloh janjikan lebih dari sekedar sepoi nikmat angin berhembus menyentuh kulit, lebih manis dari sekedar tatapan iri dan lontaran puja puji, lebih syahdu dari sekedar mendapat perhatian yang tak berdasar ikatan.

Maka nikmat manakah yang kau dustai ? Terulang untuk diulang, berkali-kali untuk dipahami, hingga hapal bukan hanya untuk diucap.                                                                          
Tidakkah merasa bahwa itu tanya untuk kita ? Untuk tiap inci kulit yang terburai tanpa penutup, untuk tiap bubuk gincu warna-warni ditingkahi kuas kecil terkembang diatas pipi, untuk tiap helai rambut nan suci yang tak terhijabi.
Kelak dengan inikah kita menghadap ? dengan keteledoran dan keacuhan atas segala pinjaman.
Karena Ia mencintai kita. Karena Ia zat yang mencipta, memberi rasa, raga dan harta hingga kini dengan segala ciptaNya, tak malukah kita berlenggok membuang muka atas firman Nya juga nasehat Nabi Sang pembawa risalah cinta.