Senin, 24 Desember 2012

Rindu


Rindu itu kata semu untuk menggambarkan canduku atasmu.
Malam itu singgasana, sarana khayalku untuk cerita kita.
Pagi dan embunnya adalah awal dustaku pada dunia.
Matahari mencoba menyembunyikan mimpi-mimpi sisa hari kemarion.

Ingin ku ucap dan kecap, namun entah jarak dan langkah kaki pun tak mampu indraku menangkap.
Kata jauh tak cukup membunuh. 
Langit biru masih menyisakan harap penuh haru.
Desah angin ikut mengantar dingin yang membuat lulaby dikepala kian berdenging.

Malam kapan kau datang ?
Rindu entah kapan kan jemu.

*Ditengah mengerjakan tugas kelompok Filsafat Ilmu dengan Khoirul Hafifah ^_^

Untukmu, Teman Berprosesku.


Untukmu teman berprosesku. Selamat selamat, bermanfaat, bermanfaat.

Hai, tulisan ini sebagai kado ya.

Proses itu suatu kata yang mampu menjabarkan waktu panjang metamorfosis kita, metamorfosis yang mengukung bagai kepompong, bedanya kepompong yang ini adalah kaca terang, kaca bersih dari debu yang orang-orang dari luar bisa melihat, berkomentar.
Dalam masa panjang itu kau selalu menjadi salah satu peneguhku, peneguh ketika telingaku terlalu pekak mendengar kata-kata kasar. Salah satu pendengarku, saat yang lain membungkam mulutku yang meracau bercerita. Menjadi salah satu penyebab terkembangnya senyumku.

Proses yang telah terlewat itu kadang menimbulkan senyum simpul saat aku menengok masa lalu, saat aku mengingat diriku yang dulu. Kita tak pernah sama lagi, tak akan pernah sama. Karna itu, kadang aku hanya bisa tersenyum sambil menggeleng kepala saat ada yang berkata "Ta, kamu berubah ya sekarang."

Kemungkinan


Kemungkinan itu seperti jalan lurus yang jauh dan gelap, yang kita tidak tahu akan menghantarkan kita ke sudut gelap atau bukit-bukit penuh cahaya terang.
Seperti kita, kau dan aku, ketika memilih untuk melewati jalan lurus nan gelap itu.
Kita boleh berharap sama-sama sampai pada bukit terang meski "sang mungkin" bisa saja membuat salah satu dari kita terjerembab,jatuh dan terdampar ke sudut tergelap.
Atau mungkin kita akan bersama, berdua. 
Namun berdua tanpa saling tahu kita terjatuh bersama, karna tak ada lagi cahaya, sebagai sensor untuk mata kita saling mengetahui keberadaan satu sama lain.

Yah semua masih mungkin, masih terasa blur tanpa bisa kita sentuh atau ukur.
Namun lagi-lagi semua ketakutan itu, kita yakin takkan bisa menghancurkan keinginan kita untuk bisa sampai dan melihat pada bukit bukit terang.

Kamis, 20 Desember 2012

Semu


Guruku pernah berkata, kadang tanpa sadar kita hanya berkata, berupa, bertindak seperti apa yang orang lain inginkan, kita hanya mencoba membentuk topeng untuk membentuk, mengaburkan seperti apa kita sebenarnya. 

Coba tanyakan pada diri kalian masing-masing, apakah yang selama ini keluar sebagai kata, atau yang kita lakukan benar-benar jujur apa yang ada atau hanya apa yang mau kita bangun sebagai selaput pengabur diri sendiri yang ada dikubur.

Mencoba berlindung dengan berbagai alasan, meski diri mengerti semu itu kian mendominasi. Akankah ego mengganti prinsip atau kesadaran nurani mengambil alih pilihan-pilihan yang membentuk simpul kehidupan. Aku juga tak tahu. Apa selama ini yang ada adalah sebenar-benarnya atau hanya raga yang tak ada ruh ku didalamnya.


Selasa, 18 Desember 2012

Jauhi Prasangka


Niat itu hanya Allah yang tahu, tapi kita sebagai manusia diberi keleluasaan untuk bertindak, berkata sesuai dengan yang ada dalam hati dan pikiran kita, atau bertabir kata dan tindakan yang sebenarnya jauh dari apa yang ada.

Niat itu yang kadang menjadi prasangka, seorang sahabat bisa menjauh dan kemudian seolah tak mengenal, terjadi hanya karena prasangka. Bahkan yang lebih hebat lagi, sepasang suami istri, yang dulu saling mengaku memiliki cinta yang sama, malah berpisah karena alasan yang cukup aneh,""ternyata saya tidak benar-benar mencintai dia, perasaan menggebu-gebu dulu entah kenapa kini menguap bagai tak pernah ada sebelumnya. "
Apakah alasan mereka bersama dulu pun karena prasangka ? Prasangka bahwa si dia pun memiliki rasa yang sama. Atau malah diri sendiri yang salah menilai pertanda hati, berarti kita juga hanyalah berprasangka.
Berprasangka yang buruk tepatnya.
Tak ada yang benar-benar tahu. Hanya Allah lah dengan segala ke Mahaan yang benar-benar tahu.

Semua prasangka yang buruk itu lumrah terjadi, apalagi di dalam diri manusia yang cenderung senantiasa dihinggapi penyakit hati. Namun, kembali lagi ke awal, kalau kita punya niat yang baik dan kita melakukan segala tindakan bersinkron dengan niat, InsyaAllah apa yang kita lakukan pun terasa lebih mudah, tanpa terlalu banyak prasangka buruk yang memenuhi kepala.

Jika sahabat kita terlihat enggan membalas salam sapa kita, niat yang tulus untuk menjalin ikatan persahabatan dengannya akan membuat kita mencari 1001 alasan yang membuat kita tidak akan sakit hati atas apa yang dilakukannya, berprasangka lah namun harus berprasangka yang baik.

Ikatan suami istri pun (meski saya pun belum mengalaminya) saya rasa akan berjalan dengan baik jika kita memiliki niat yang baik. Berkeluarga karena Allah SWT. 
Saat rasa menggebu-gebu itu hilang, bukankah kita tetap bisa saling menyayangi dan menghormati dengan menyadari peran masing-masing dalam keluarga.
Seorang istri yang menghormati suaminya yang telah susah payah bekerja untuk menghidupi keluarga, dan sang suami pun menyayangi istrinya yang telah dengan sepenuh hati merawatnya dan menjaga harta nya ketika sang suami tak ada.

Kuncinya di niat dan prasangka yang baik, InsyaAllah hidup kita akan lebih baik.
Hamasah.

Alasan



Terasa begitu lemah jika hanya karena wajah kita duduk, seiya sekata.
Terasa begitu jahat bila hanya karena harta aku memegang erat tanganmu selama ini.
Aku jatuh namun aku suka, karena jatuh dan tersadar aku tengah berada di ranah tak tentu arah bagiku yang masih begitu mudah resah. Ranah itu rumah. Rumah yang kini kita tepati dengan penuh decak, amarah dan tangis yang menyelingi.
Kadang lelah, kadang terpikir tuk pergi dan mencari tempat lain. Suatu tempat dimana tidak perlu ada kau, atau tak ada kata kita lagi. Suatu tempat yang penuh keegoisan, kemapanan diri sendiri.

Namun sahabat, dengan senyummu kau menuntutku tuk pulang, tuk meniti lagi dari awal, untuk membantuku yang tertatih untuk belajar merangkak dan berjalan.
Ketika aku bertanya untuk apa dan kenapa kau lakukan semua. Kau hanya tersenyum sambil menggeleng lemah. Tak tahu, yang kutahu, aku hanya ingin memberimu alasan. Beribu alasan untuk tak henti berjalan.

Senin, 17 Desember 2012

Karena aku adalah wanita



Karena aku adalah wanita, tak cukup kadang kuungkap rasa hanya dengan sedikit ucap kata, namun dalam rengkuh pelukmu ayah, ibu tak perlu semua alfabet semu itu.

Karena aku adalah wanita, kadang aku terlihat begitu manja namun bisa sangat tegar sekejap mata, itu kata mereka, tapi yang tak cukup mereka kira, semua itu karena ku tahu ada kalian berdua dibelakang ananda untuk mendukung semua.

Karena aku adalah wanita, kadang tangis menjadi pelampiasan, pelarian bahkan pembungkus dusta lemahku saja, tapi didepan kalian berdua tak cukup kuat pundakku menahan getarnya, tak cukup kuat bibirku tertutup menahan isak tangisnya.

Karena aku adalah wanita, mohon pengertian yang lebih untuk nanda.
Karena aku adalah wanita, mungkin lebih banya kubutuhkan genggaman tangan penuh doa.
Karena aku adalah wanita.