Selasa, 16 April 2013

Terrorist ?



Ini hasil perenungan, perjalanan yang belum cukup panjang memang.

Aku mengeluh, mengeluh pada diri ini juga pada saudaraku sendiri, sesama muslim. Aku ingin bertanya, berteriak bila ku bisa, hanya untuk jawaban atas sebuah kata “mengapa ?”

Mengapa lebih percaya pada dunia jika telah tahu janji Allah pasti nyata atas surga ?

Entah sejak kapan konspirasi besar ini membentuk simpul terpercaya berlabel kongres bangsa-bangsa, ya seluruh dunia mengamininya, ketakutan itu merajalela, ketakutan pada muslim, pada mereka yang menjalankan syariah sesuai perintah.

Entah sejak kapan ia yang berjenggot tebal dan berkerudung hitam lebih kita takuti daripada mereka para pakar liberalis, hedonis yang dengan seringai licik menyelipkan bom-bom pikiran pada tontonan kita, menjajah kesehatan makanan kita, menggempur batas halal haram kita, meleburkan semua batas seakan abu-abu itu gaya baru, seakan beriman dianggap tak jaman, dan yang berjuang dikatakan sarang keburukan. Fanatik pada yang baik ditakuti, dijauhi, dikecam sampai antipati, sedangkan ia yang menawarkan kebebasan, indahnya duniawi, kita jadikan tontonan tiap hari, kita bela sampai mati hingga tak jarang kita berani pertaruhkan iman, nurani hanya demi sebuah label trendy atas gaya masa kini.

Jumat, 12 April 2013

Perpisahan



“Penyejuk mata, pengobat hati itu disebut keluarga”

Malam ini jatuh terduduk merindu, butiran bening membuat mata kian buram seolah selaput berkabut membentuk kaca semu.

Aku pilu. Pertama kalinya merindukan kalian semua secara bersamaan, dan aku tak tahan untuk tak menulis, membocorkan wadah hati, takut sesak kian menyiksa jika keluar dengan isakan.

Saudaraku, yang entah apa artiku bagimu. Perpisahan yang kini tlah sama kita jalani, membuat kita saling terpisah diri, memaksa kita berlari dalam lintasan masing-masing, bermetamorfosa rupa, sifat dan sikap kita. Ilmu dan pengalaman membuat kita kian gemuk, menderita disana-sini, lalu berbagi tawa dengan mereka wajah-wajah baru. Kian dewasa dan termakan usia, melewati tiap babak kehidupan dengan kecemasan dan prasangka bias akan kehidupan didepan yang tanpa perjanjian.

Perpisahan itu tak menimbulkan banyak kata sayang dan air mata diawal, tapi entah kini saat episode membawaku pada pertengahan, semua kata cinta terasa ingin kubagi bersama, duduk-duduk dan saling diam. Ya, karena hanya diam yang mampu mengejawantahkan saat kata tlah kelu untuk ku utarakan, sambil menatap wajah satu persatu, mengais kembali memori lama tentang seperti apa kalian dulu, menarik bibir dan berkata “Ah.. Tlah banyak yang berubah.”