Kamis, 30 April 2020

Mengaji, Menari dan Menebar Kebaikan

Tutup aurat, tutup aurat jangan boleh dilihat.

Malu wajib pribadi mulia

itulah tuntunan agama...

"Jangan saling bertabrakan ya, anak-anak. Dilihat kiri kanannya. Yang baris depan ke arah kanan dulu, yang belakang ke kiri. Lanjut bait selanjutnya..."
Suara teriakan yang sampai hari ini masih bisa aku dengar sangat dekat di telinga, meski telah lewat 20 tahun lamanya sejak pertama kali mendengar beliau melafalkan bait demi bait lagu tentang aurat seorang muslim kepada kami, anak-anak yang hadir untuk belajar mengaji. 


Photo by Ifrah Akhter on Unsplash

Bu Suti, namanya. 

Guru tempat kami belajar saban sore. Seseorang yang aku ingat sebagai ibu bersuara nyaring dengan senyuman manis. Guru perempuan muda pertamaku dalam belajar agama. Potongan cerita beliau pernah juga aku muat di blog ini terkait sentimen menjadi perempuan di Indonesia ini. 
Sebelumnya aku tidak pernah tahu, belajar mengaji bisa semenarik ini. Dengan lagu-lagu serta gerakan koreografi yang variatif. Bu Suti juga jago menggambar dan membuat yel-yel. Segala hal tentangnya terkesan meriah dan penuh suka cita. Tiap sore dimulai dengan penuh keingin tahuan apa lagi hal baru yang akan beliau bagikan.

Sayangnya, 

segala riuh rendah warna warni kesan saat beliau mengajar berbanding terbalik dengan kelabu hidup sehari-hari yang beliau lewati berdua dengan sang suami. Bu Suti dan Cak Rohmat yang datang jauh dari sebuah kota di Jawa, konon ingin coba memulai hidup baru di Lampung. Namun modal keburu habis sebelum bisnis bisa lancar menghasilkan untung.


Photo by Markus Spiske on Unsplash
Macam-macam pekerjaan diambil sejoli ini. Mulai dari menyiangi rumput untuk makan kambing tetangga, berjualan sayur dengan mengayuh sepeda, menerima pesanan makanan jika ada acara hingga tentu saja mengajar kami mengaji tiap petang. Daftar perkerjaan yang hanya terkesan mudah bila didengarkan.

Dalam keseharian 

dengan jilbab berwarna coklat susu khas beliau, setiap hari tanpa lelah menebar kebaikan selalu datang paling awal. Dengan senyum menyambut kami, tidak peduli bahkan saat hujan. Lewat beliau lah pertama kali aku merasa jatuh hati pada ilmu pengetahuan. Lewat kebaikan berbagi yang tulus dan penuh sayang.

Aku juga baru tahu belakangan ketika bicara dengan Mama, bahwa saat dulu mengajar kami mengaji, Bu Suti tidak pernah mematok bayaran. Semua dianggap bagian dari sedekah ilmu. Mengajar untuk membagi yang ditahu. Menebar kebaikan dalam sunyi tanpa pandang bulu.

Photo by Utsman Media on Unsplash

Sekarang jejak Bu Suti sudah sulit dilacak. 

Sepertinya beliau dan keluarga pindah saat aku tengah disibukkan berbagai aktivitas di sekolah menengah atas. Kegiatan mengajar mengaji memang telah lama tidak lagi beliau geluti karena konon di masjid yang kini telah dibangun besar dan tinggi, para pengajarnya adalah mereka yang bersertifikat lulusan sekolah Quran dengan nilai brilian. 

Namun, walau raga tidak lagi berjumpa. Hampir ditiap waktu terutama kala bulan Ramadan seperti sekarang, aku selalu teringat beliau. 1 dari sekian banyak guru yang paling membekas di hati dan tinggal di memori. Guru kehidupan yang mengajarkan untuk menebar kebaikan. Meski tidak banyak bisa berbincang secara pribadi namun lewat kehangatan pada semua orang, terasa sangat dekat dan membuahkan inspirasi.

Lewat Bu Suti, aku belajar bahwa untuk menjadi insan yang bermanfaat tidak perlu menunggu nanti, jika sudah mencapai itu ini. Bagikan yang ditahu, jalani dengan ikhlas dan yang pasti menebar kebaikan dengan niat mencari keberkahan dari  Allah, pemilik hidup dan mati


Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
خَيْرُ الناسِ أَنْفَعُهُمْ لِلناسِ
Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no:3289).


Photo by Lina Trochez on Unsplash

Aku yakin di luar sana juga ada banyak Bu Suti Bu Suti lain yang senantiasa tanpa lelah #MenebarKebaikan. Di masa sekarang saat segala hal semakin sulit, semoga sedikit cerita ini ada kebaikan yang bisa dipetik serta mampu memantik semangat para pembaca.
Jangan lelah untuk melanjutkan nafas kebaikan dan menebar kebermanfaatan, seperti Dompet Dhuafa, lembaga amil zakat nasional yang telah terbukti selalu terdepan dalam berbagi.


 “Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Menebar Kebaikan yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa”



6 komentar:

  1. Setiap orang unik dengan cara mereka berbagi dan mengasihi. Kasih sayang yang terpancar tanpa peduli keuangan yang belum tentu menyambar ke kantong diri sendiri. Terima kasih telah menulis cara memandang hidup ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih juga telah meluangkan waktu untuk membaca :)

      Hapus
  2. Tulisannya sederhana namun memiliki makna, semoga sukses yaa ikutan lombanyaa :)

    BalasHapus