Sabtu, 06 Juni 2020

Tentang Durhaka

Beberapa waktu yang lalu aku membaca curahan hati seorang gadis di media sosial tentang bagaimana sang ibu menolak calon suami yang dia ajukan, malah memilih untuk menyodorkan calon baru sebagai pendamping tanpa komunikasi yang memadai untuk bisa bertukar pikiran dan saling melegakan keputusan. Saat itu aku yang (seperti biasa) SOK TAU membalas dengan berapi-api mengenai betapa pentingnya untuk memulai komunikasi dan melemparkan berbagai saran agar teguh pendirian, bahwa kamu punya hak untuk memilih kehidupan di masa depan bla bla bla...

Photo by Velizar Ivanov on Unsplash

Sampai sore ini tiba-tiba sebuah pemahaman baru menghantamku saat sedang melamun sembari makan (jangan ditiru!!). Bagaimana jika alih-alih hanya bingung, anak yang curhat itu sebenarnya adalah sebuah representasi dari sebagian anak-anak di dunia ini yang tidak memiliki keistimewaan untuk bisa berkomunikasi secara terbuka dengan orang tuanya?


Photo by Kat J on Unsplash

Ya, karena tidak semua anak punya orang tua yang mau mendengarkan, yang mau mengakui kesalahan, yang mau belajar dan memberi ruang untuk berkembang.

Keistimewaan yang aku dan mungkin kamu dapatkan secara cuma-cuma atau ada yang melalui proses panjang perjuangan.

Sebagai anak yang bisa dibilang menempuh jalur perjuangan untuk bisa mulai menyampaikan perasaan terdalam dan membiasakan memberi serta menerima masukan, aku bisa menggambarkannya dalam satu deskripsi: tidak nyaman.

Photo by Anastasia Vityukova on Unsplash

Saling sakit hati, diam-diam menangis, frustasi, merasa gagal juga tidak dihargai dan berbagai emosi tumpah ruah dalam proses ini. Tapi saat kedua belah pihak sadar untuk saling memeluk bukannya menunjuk, melihat dengan hati, merelakan masa lalu dan berserah diri pada kuasa Tuhan, saat itulah semua keadaan akan terasa lebih nyaman dan kita bisa saling mengandalkan alih-alih cari posisi bersebrangan (aku dan keluarga masih dalam proses belajar, belum benar-benar sampai tujuan).

Tapi lagi, ini adalah pengalaman dan pengetahuan pribadi, tidak selalu harus sama dan sesuai untuk diterapkan dikeluarga yang lain. Walau tidak merasakannya langsung, aku berempati dan terbiasa melihat dengan mata kepala sendiri bahwa ada beberapa keluarga yang entah belum menyadari atau telah terlalu jauh untuk bisa memulai mediasi masih terus-terusan saling menyakiti karena gagalnya proses komunikasi menyampaikan maksud hati.

Photo by Jason Rosewell on Unsplash

Dari tulisan ini, aku hanya ingin mengajak kita coba melihat dari perspektif lain mengenai masalah-masalah keluarga yang seringnya kita sepelekan saja. Terutama jika kamu orang tua yang merasa memiliki anak dengan pendapat yang sering berbeda.

Mari melihat ke dalam diri, apakah mereka memang si Malin yang durhaka atau kalian hanya gagal memilih pola komunikasi yang baik untuk menyampaikan rasa?

5 komentar:

  1. Sedih ya, kita bisa liat banyak sekali kasus semacam ini. Terlalu gampang justifikasi ke anak atas standar yg mereka pancang sendiri sebagai ortu..

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, tapi aku percaya generasi yang akan datang akan jadi lebih baik lagi dalam perenting karena terpapar banyaknya informasi dan ideologi yang lebih terbuka, semoga. Terima kasih sudah meninggalkan kesan. Salam kenal :)

      Hapus
  2. Saya udh jdi ibu, udh pernah jadi anak. Pernah debat sama ortu soalnya calon suami yg ga sesuai standar mereka.
    Setelah jd ortu, sya baru ngerti knp ortu kyk ga mau denger anaknya.
    1. Terlalu banyak kuatir dan pertimbangan
    2. Udah tahu watak buruk anak, ada rasa ragu, bisa ga gw percayain. Krn kalo sampe salah anak gw bakal terluka nih.

    Ortu emg kudu siap jadi tempat pengobat lukanya anak2, tp ortu jg manusia yg pny ketakutan.

    Saya & suami berhasil luluhin hati ortu pun pke nangis2. Cuma waktu itu berdua pegang teguh, hormatin orang tua, no backstreet. Mendekati mereka dgn cara2 yg lmbut, mendengarkan isi hati kekuatiran mereka dlu. Memahami, baru menjelaskan knp saya milih org ini.

    Sebagai ortu, walaupun bocah, emg SUSAAAAHHHH bgt dgerin anak di tengah kesibukan, kuatir, bising di kepala. Harus ingetin diri sendiri berulang "dia manuaia, punya otak. Jelasin! Jgn asal laranf, ntar dia ngerti." yaa bener, kalo dijelasin detail, sebab akibatnya.. Bocah lebih burut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. The best!!
      Cerita seperti ini juga valid. Sebagai anak yang proses komunikasi dalam keluarga butuh diperjuangkan agar jadi lebih baik dengan orang tua, aku selalu menanamkan dalam hati untuk punya ekspektasi tidak terlalu tinggi karena bagaimanapun orang tua tetaplah hanya manusia biasa yang bisa salah begitu juga sosok anak.

      Terima kasih,Kakak, sudah mau meluangkan waktu untuk komentar. Salam untuk keluarga :) Semoga selalu sehat.

      Hapus
  3. toxic parenting emg bahaya, apalagi klo kemauan anak tidak sejalan dengan orang tua,

    BalasHapus