Senin, 30 September 2019

Menulis untuk Mengadu


"Kenapa kamu suka menulis?" suatu hari seorang Pria bertanya padaku ingin tahu.
Pertanyaannya ku jawab sambil lalu kala itu.
"Hm.. kenapa ya? Karena sepertinya aku tidak punya bakat lain? Dan orang-orang terlihat menikmati cerita yang aku buat." Jawabku ceria.

Malamnya, aku berpikir lama. Menyisir pandangan ke tumpukan buku di pinggir kasur, di atas meja, di dalam lemari.
Kenapa ya aku suka menulis?

***

Photo by Caleb Woods on Unsplash

Aku anak pertama dari pasangan muda yang memutuskan menikah di usia belum genap 25. Masa di mana anak mudanya percaya, usia 20 an sudah pantas dianggap dewasa dan salah satu bukti kedewasaan adalah dengan membina keluarga.

Mama dan Papa berasal dari keluarga sederhana, ketika mengontrak rumah sendiri hampir tidak membawa apa-apa selain beberapa helai pakaian. Hanya tikar seadanya digelar untuk menyambut tamu di ruangan yang jadi satu dengan dapur. Kakek ku, pria paling aktif dan ekstrovert se-semesta sampai merasa perlu membawa 3 kursi plastik dari rumahnya.
Mengikat erat pada bus yang berhenti di depan gubuk kayu tempat tinggalnya, lalu membawa ke rumah pasangan pengantin baru itu.

Saat kecil, aku lebih sering melihat punggung orang tua yang pergi bekerja atau wajah kelelahan ketika mereka pulang. Lalu dengan sendirinya merasa terbiasa dengan kesendirian. Kakek ku kadang datang dan tinggal sementara waktu, namun karena Beliau tidak bisa meninggalkan keluarga lain di kampung halaman terlalu lama, seringnya aku hanya tinggal dengan Adik Perempuan Mama di rumah.

Beliau adalah satu-satunya orang yang menemani sekaligus paling sering pergi meninggalkanku sendirian kala itu. Tanteku masih sangat muda. Usia kami hanya selisih 8 tahun. Bagi Tante, Ibuku adalah juga Ibunya karena Nenek meninggal tidak lama setelah melahirkannya.

Kami lebih sering bertengkar. Dia tidak pernah merasa bersalah meninggalkan aku lama tiap malam sendirian untuk bermain dengan temannya. Bagiku yang belum mengerti bahwa dia juga punya hak bermain bukan hanya kewajiban mengurusku, seringnya lalu merasa patah hati.
Orang tua jarang ada di rumah, Tante yang diminta menemani malah asyik dengan dunianya sendiri.
Aku lalu memutuskan untuk mengalihkan kekecewaan pada satu-satunya obat hati yang aku tahu, membaca.