Gambar diambil dari pinterest
Hal paling inspiratif dari perjuangan Kartini adalah karena Ia melakukannya untuk kebermanfaatan dan kehormatan perempuan Nusantara bukan hanya kepentingan pribadinya.
21 April hanya akan menjadi parade kebaya dan sanggul jika kita lupa makna perjuangan yang sebenarnya. Atau hanya akan jadi sebuah pagelaran kontes minim renungan jika kita hanya sekilas terpukau pada kutipan-kutipan kata tanpa mau meneladani perjuangan dan kerja keras simbol perempuan Nusantara, Raden Ajeng Kartini, yang semoga selalu terberkati oleh Yang Maha Esa.
Menjadi perempuan bagi ku (dan mungkin dirasa juga oleh perempuan
lainnya) adalah sebuah keberkahan sekaligus juga jalan terbentang panjang atas
nama kehormatan dan kesetaraan. Menjadi perempuan Indonesia, khususnya, telah
lama seolah digambarkan sebagai manusia kelas dua, yang tidak perlu terlalu
cerdas, terlalu kaya, dan ter ter lainnya yang menunjukkan kelebihan hingga
membuat laki-laki merasa kecil dan rendah diri.
Kami yang lahir dan hidup di daerah-daerah yang masih begitu kokoh menggigit nilai patriarki, sejak dulu sembari Ibu mengepang rambut atau mencari kutu, sudah ditiupkan pemikiran bahwa, ‘tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, pikirkan juga umurmu; belajar lah memasak dan mengurus rumah, kamu harus jadi istri yang baik; dan seterusnya.’
Apakah nasihat-nasihat yang seolah telah disugestikan dan masuk begitu
dalam ke benak kami adalah sebuah kekeliruan?
***
Singkat cerita, anak-anak kecil dari daerah pun tumbuh dewasa, menjadi
perempuan cerdas karena suka membaca dan jernih pikirannya karena mengambil
kebaikan dan kebijakan tradisi serta unggah-ungguh nilai sosial yang bisa
diterima dibanyak lokasi. Mereka bertemu dengan bermacam jenis manusia dari golongan
laki-laki dan perempuan.
Kesetaraan, feminisme, perlawanan atas berbagai kejahatan asusila, menjadi
makanan sehari-hari yang dijejalkan di zaman ini. Sebuah periode waktu di mana
perguruan tinggi menjamur, ilmu berdesakan mencari tempat untuk dijajaki,
berbagai kemudahan koneksi terlengkapi, namun kemerosotan moral kian menjadi.
Perempuan menjadi seolah santapan, daging segar yang perlu segera
dihabisi dan disentuh sembarang saja. Mereka, perempuan-perempuan itu, baik
yang berangkat dari desa maupun yang telah lama mengangkat bendera perjuangan,
memutuskan melebur menjadi satu menuntut sebuah porsi baru dalam tatanan masyarakat,
dalam kehidupan bersama, menjadi setara.
‘Perempuan dan laki-laki berhak mendapat pendidikan yang sama;
diperlakukan dengan cara sama; perempuan berhak untuk melaporkan segala bentuk ketidak
nyamanan baik hanya berupa lirikan, siulan apalagi hingga menyentuh dan
mengganggu privasi; dan sebagainya.’
Apakah nilai-nilai yang perempuan-perempuan itu perjuangkan salah?
Apakah menuntut sebuah kenyaman atas hak asasi nya adalah sebuah keburukan dan
pelanggaran atas kepatutan menjadi perempuan yang telah lama dipegang nilainya
oleh mereka yang menjalani patriarki?
***
Dan kawan, sembari menantimu menimbang dan memberi jawaban, aku akan menceritakan
sebuah kisah, nyata karena aku tidak pandai menyusun skripsi eh cerita fiksi
maksudnya.
Di desa kami, ketika banyak orang muda memilih merantau, pada suatu
ketika kehilangan figur guru untuk mengajar mengaji. Tahukah kau kawan, di desa
kami (dan hampir pasti di banyak desa lainnya) mengaji adalah seperti napas,
kami memang nakal dan suka berkeliaran di sawah atau berenang di sungai meski
telah diancam akan dipukul dengan gedebok pisang namun soal mengaji, kami tidak
pernah luput atau sengaja berpura-pura sakit agar tidak datang.
Entah bagaimana lalu terpilih lah beliau, namanya Bu Suti. Perempuan
dengan kulit legam, berwajah lebar, dengan senyum yang tidak pernah hilang dan
kerudung panjang yang hanya berganti warna jika ada agenda penting di desa,
yang lalu mulai mengajar kami.
Bu suti tidak seperi Kang Herman atau Nyai Has yang sering berkata keras
dan memberi kami pelototan jika salah menyebut a dengan a’. Beliau entah dengan
kesabaran macam apa, masih selalu tersenyum seolah maklum.
Dan setelah dipegang Bu Suti, kami tidak hanya diajarkan mengaji namun
juga mulai diajarkan bernyanyi lagu-lagu nasyid. Pam pam, cuap, sembari
mengeluarkan suara-suara lucu dari mulut dengan ditingkahi beberapa koreografi.
Kami girang bukan kepalang. Belum lagi, Ia dengan suaminya, Cak Rohmad,
berinisiatif menjadikan kami penampil utama dalam agenda Isra Mi’raj di desa.
Meminjamkan kami baju (yang waktu itu tidak pernah aku pikir berasal dari mana)
gamis bunga warna-warni dan perlengkapan lainnya.
Beranjak dewasa, setelah aku cukup dewasa dan tidak lagi mengaji di
surau yang kini telah berganti masjid (bukan karena aku sudah cukup pandai,
tapi memang begitu lah peraturan tidak tertulis tentang usia anak masih boleh
belajar di surau), aku baru bisa melihat Bu Suti secara lebih utuh. Beliau
sudah kian menua, tidak lagi mengajar anak-anak mengaji karena di masjid baru
kami konon sudah didatangkan alumni sebuah pondok besar khusus untuk mengajar
mengaji.
Gambar diambil dari pinterest
Bu Suti, ternyata sejak dulu bukan hanya memiliki tugas mengajar kami
mengaji di sore hari, Beliau juga berjualan sayur dengan sepeda di pagi hari,
membantu suaminya mencari rumput untuk makan ternak yang mereka angon di siang
hari, mengajar kami dan kadang masih menerima pekerjaan membuat kue pesanan
orang-orang yang memiliki hajatan. Dan kawan, haruskah ku sebutkan lagi, dengan
segala kesibukan luar biasa itu tidak pernah sekali pun kulihat ia berwajah
lelah atau masam.
***
Mari kembali pada pertanyaan-pertanyaan yang tadi aku ajukan, jadi
kehidupan seperti apa yang kita, para perempuan harus jalani, mengikuti
kesetaraan atau kepatutan yang diajarkan sejak dini?
Jawaban ku secara pribadi, aku dapati setelah menengok kembali kisah Bu
Suti. Memilih menjadi istri lalu mengurungkan sekolah tinggi, memilih sekolah
tinggi lalu bahkan tidak menikah sama sekali, atau apapun keputusan yang kamu,
aku, kita ambil sebagai pribadi, sebagai perempuan merdeka, jalani lah dengan
sebaik dan sehormat-hormatnya.
Menjadi anak perempuan yang patuh, istri yang penuh cinta dan Ibu yang
berpengetahuan lalu mendidik putra putri penerus dengan moral terbaik dan atau
menjadi perempuan penuh karya yang membuat mata dunia terbuka atas kesetaraan
yang kian nyata, melawan tiap penindasan diberbagai negeri, menghukum tiap
pelaku kejahatan asusila dan kekerasan pada perempuan dengan membuat dan
meresmikan aturan, juga membuat sekolah, tempat-tempat perempuan lain belajar
dan hidup dengan nyaman, adalah perjuangan kita sebagai perempuan Indonesia yang
tidak bisa saling dibenturkan atau bandingkan.
Karena seperti Kartini dan sebagaimana dikutip dalam ayat Al Qur’an,
sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya untuk sesama.
Catatan:
Gambar yang digunakan adalah gambaran dari tulisan. Penulis tidak memiliki foto milik pribadi yang mampu mendukung cerita.
Tulisan ini diikut sertakan dalam Kompetisi Menulis "Menjadi Perempuan Indonesia" yang diselenggarakan oleh Tribunnews.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar