Salah satu bagian terpenting dari proses pendewasaan yang aku alami, yang rasanya ingin aku bagikan adalah pengalaman membiarkan. Terdengar asing? Setidaknya bagiku, dulu.
Sebagai certified over thinker, aku selalu give a damn tentang banyaaaak hal. Inginnya segala hal lekas selesai dengan baik dan benar. Tentu saja hidup, seperti yang kita tahu akan memberikan berbagai pelajaran, yang kudu dijalani sendiri, nggak boleh titip orang. Dalam kasusku, prosesnya penuh air mata, insomnia dan perasaan pesimis yang levelnya sungguh durjana.
![]() |
Ilustrasi buatan sendiri |
Sebelumnya, HAI AKU KEMBALI MENULIS. Aku nggak pernah tahu ternyata akan ada masa di mana aku berhenti sama sekali menulis lalu kembali. What a LIFE! Ada banyaaak yang terjadi. Mari satu persatu aku ceritakan.
Kembali ke topik. Fase berhenti menulis itu adalah salah satu masa terkelam dalam hidup. Bagaimana mau menulis kalau bangun dari tempat tidur saja susah? Mungkin ada beberapa orang yang familiar dengan rasanya. Yang saat itu aku pikirkan adalah bagaimana caranya agar semua ini selesai? Bagaimana menemukan alasan, motivasi, energi dan kepercayaan untuk melanjutkan?
Ternyata yang tidak aku duga, solusinya bukan dicari-cari di luar. Ya, aku butuh jalan keluar secara harfiah. Bergerak, mendengar cerita orang dan tentu saja mengakui kebodohan diri pada Sang Pencipta. Namun cara menemukan semua harapan ala aku adalah diam.
Hampir seumur hidup rasanya aku dikejar-kejar, ternyata sampai pada keadaan terhuyung kehabisan napas. Hampir seumur hidup merasa yang paling istimewa, ternyata ketemu juga hal yang tidak aku bisa dan sulit dicari solusinya. Hampir seumur hidup lempeng saja jalannya, akhirnya berhadapan dengan lubang, kelokan dan jurang.
![]() |
Ilustrasi buatan sendiri |
Saat ini, jika mengingat hari-hari itu aku merasa sangat bersyukur karena tidak memilih jalan cepat menyerah. Tapi sebaliknya, pelan-pelan berjalan. Menjalani hari demi hari dengan kepercayaan pada Tuhan. Itu saja.
Bangun, jalani hari, nangis nangis, tidur. Bangun, jalani hari, nangis nangis. Begitu terus on repeat. Sampai Allah yang bukakan jalan. Salah satu yang aku syukuri sebagai manusia beragama adalah kepercayaan bahwa ada Zat yang Maha Besar dan Maha Melihat.
Allah beri terang, Allah kasih lapang. So here I am, diberi kesempatan untuk hidup dengan perspektif berbeda dan lebih terbuka. Aku melihat diriku dengan lebih kasih, menaruh ekspektasi kehidupan di tempat yang tidak lagi berlebihan. Melihat manusia sebagai sesama yang mudah lupa dan kurang ilmunya.
Dalam keadaan memproses perasaan mengganjal yang ingin dihilangkan, aku menemukan perandaian. Perasaan dan pengalaman tidak menyenangkan itu rasanya mirip baju kesayangan yang melekat lama kadang bahkan telah jadi jati diri kita. Namun akan ada waktu, kita harus melepasnya. Karena sudah usang, tubuh kita membesar atau hilang terbawa angin dari jemuran.
![]() |
Ilustrasi buatan sendiri |
Memprosesnya macam-macam, ada yang penuh keanggunan, ada yang juga seperti aku, butuh sekuat tenaga. Namun yang pasti semua akan lewat, yang kamu rasakan sekarang seberat apapun, akan berakhir. Itu yang aku pelajari dari pengalaman.
Baju yang dulu sering kamu pakai, entah bagaimana tiba-tiba raib dari lemari pakaian. Seperti ada lubang yang memakannya. Dicari ke sana ke mari tetap tidak ketemu rimbanya. Dan saat hari itu tiba, saat kesadaran bahwa akhirnya kita telah lepas dari perasaan mengganjal, peluk diri sendiri yang lama. Ucapkan selamat tapi ingat hidup masih punya banyak kejutan. Mari sadar dan tetap ucapkan mantra yang diulang, “Soon it will be good again! InsyaAllah”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar