Selasa, 03 Maret 2020

Alpha Female

Istilah baru muncul lagi, kini untuk menandai perempuan kuat, berani dan mandiri, society tidak lagi hanya menyebutnya feminis. Istilah Alpha Female, diambil dari studi tentang hewan dan atau individu dengan peringkat tertinggi. Istilah ini merujuk bagaimana perempuan-perempuan yang disebut Alpha terlihat mendominasi dan percaya diri.

Photo by joel herzog on Unsplash

Tapi belakangan sebagaimana banyak hal di dunia ini, perspektif tentang Alpha Female semakin melebar dengan tambahan ciri khas-ciri khas baru yang merujuk pada pengalaman pribadi.
Membuat aku ingin membedahnya dengan perspektif sendiri.

Salah satu perspektif kontra yang greget ingin aku tuliskan adalah bagaimana sebagian orang berpikir perempuan Badass akan (dan atau harus) berakhir sendirian. Sebagai penganut konsep kebebasan bertanggung jawab, aku tentu mendukung setiap orang untuk memutuskan hidupnya termasuk memiliki atau tidak memiliki pasangan. Namun, menolak pemahaman bahwa seorang perempuan juga bisa tetap mandiri, percaya diri dan berani dengan memiliki pasangan adalah hal yang harus diluruskan.

Photo by Edwin Andrade on Unsplash

Jatuh cinta dan belajar membagi peran adalah normal dan masuk akal dibanding memaksa gambaran seorang perempuan mesti selalu sendirian untuk terlihat perkasa. Memiliki partner tidak membuat perempuan less power sama seperti bagaimana hal itu terjadi pada pria. Anehnya gambaran ini masih kadang samar dalam masyarakat kita.

Berlindung dengan pernyataan 'mendukung' pergerakan progresif #MeToo anehnya banyak industri melihat dan mengadaptasi konsep ini menjadi sebuah kegagalan lain dalam memahami perjuangan perempuan.
Me too dianggap mengerikan, di mana sekelompok perempuan terlalu banyak tahu, mau dan ingin mengubah tatanan sosial.
Sehingga alih-alih mencoba mengenali pesan, sebagian besar orang, terutama laki-laki yang memiliki POV berbeda justru beranjak kian jauh untuk menghindarinya.


Salah satu contoh konkret bagaimana kasus seperti itu bisa terjadi bisa dilihat dalam film Mulan. Berbondong-bondong orang mengeluhkan bagaimana pihak produksi film memutuskan menghapus tokoh  Li Shang yang (menurut pihak produksi lagi) memiliki gambaran ofensif karena memerintah Mulan (yang memang anak buahnya), see how it's done for some of us?

Pertama kali mendengar pernyataan ini aku hanya bisa terdiam dan bertanya-tanya how they come with this conclussion? Karena bukankah memang begitulah sebagian besar dunia ini bekerja? Dengan menjadikan pria sebagaian besar pimpinannya dan #MeToo atau gerakan feminis lainnya bukanlah gerakan mendesak seluruh CEO harus wanita.
Tapi bagaimana kita as society belajar melihat wanita dengan kaca mata keadilan atas kemampuan so it's okay for everyone to being Boss, either man or woman. How can it be offensive? How can Li Shang with complex character and progressive learn behaviour become offensive in Disney's point of view though?

Photo by Dmitry Dreyer on Unsplash

Aku berharap ke depannya istilah baru semacam Alpha Female dan pergerakan seperti Me Too mulai dipandang sebagai konsep yang menawarkan esensi bukan hanya estetika yang disebut dan puja puji sementara.
Ketika kita bicara Alpha Female kita juga mesti bicara tentang sekelompok perempuan di dunia ini yang dibungkam paksa suaranya, juga tentang eksploitasi kerja perempuan di bawah umur atau dalam keadaan hamil. Saat kita kagum tentang Alpha Female, kita tidak hanya memuji bagaimana perempuan berani memiliki tato, merokok dan bicara blak-blakan. Alpha Female bagiku membawa pesan bahwa jika perempuan diberi ruang untuk bicara dan berkarya sebesar-besarnya, mereka juga punya potensi yang sama dengan para pria.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar