“Kamu harus
berpakaian dengan layak,” ucap Ayah Kim Ji Young saat menjemput putrinya
yang menangis ketakutan usai turun dari bus. Keterangan lebih lanjut tentang
apa yang terjadi di bus tersebut bisa kamu saksikan sendiri di filmnya.
Aku, kamu dan sepertinya hampir semua perempuan di dunia ini
pasti pernah mendengar nasihat dengan maksud yang sama.
Photo by Han Chenxu on Unsplash
|
“Hai kamu
perempuan, berpakaianlah sesuai aturan agama agar aku bisa menjaga mata dan
syahwatku. Jangan tambahi dosa kami dengan melihatmu berpakaian tapi
telanjang.”
Kalau ini versi ‘solehnya’ yang intinya juga sama,
mengatur bagaimana perempuan mesti berdandan.
Beberapa waktu lalu seorang Akhi di grup alumni forum
keislaman yang aku ikuti saat kuliah dulu, memotret postingan instagramku dan
mengirimkannya ke GRUP. Iya, grup bukan pesan pribadi. Mengatakan bahwa aku
telah berubah dan menasihati agar aku bisa menjadi contoh adik-adik lain dalam
berpakaian.
Photo by Hasan Almasi on Unsplash
|
Dipostingan tersebut aku mengenakan jilbab agak pendek
dengan pose mengangkat karton yang bertuliskan “I Love Myself”. Dalam caption
di bawahnya aku bercerita tentang masa-masa depresi yang aku alami dan
bagaimana melewatinya dengan berbagai macam metode.
Dan si Akhi entah membaca atau tidak, memutuskan untuk
meninggalkan konteks postingan dan mengubahnya menjadi bahan kuliah seputar
standar pakaian muslimah.
Sebagai catatan aku sudah tidak kuliah sejak 2017. 2
tahun kemudian; 2019, dia dengan ‘niat baik’ menunjukkan kepedulian dengan
sadar menjadikan aku ladang dakwah sekaligus contoh buruk yang layak
dipermalukan. Lebih dari 20 orang laki-laki dan perempuan ada di dalam grup
tersebut.
Sahabat baikku mengirimkan pesan singkat setelah
mengetahuinya, “Apa perlu kita habisi dia?”
Aku sempat terdiam sejenak, merasa tidak nyaman, tentu
saja dengan pikiran terburuk di kepala.
“Ya ampun siapa saja yang sudah membaca? Kenapa dia tega
sekali padahal kami teman saja bukan. Katanya mau jadi grup silaturahmi kok ini
malah jadi ladang bully?”
Photo by Christian Wiediger on Unsplash
|
Ada berbagai alternatif di kepalaku saat itu:
Bagaimana kalau aku kirim pesan pribadi ke beliau? Isinya
minta dihapus dengan baik-baik atau serapah sekalian, agar lega. Atau pura-pura
tidak tahu saja?
Hari itu aku jalani dengan perasaan tidak nyaman. Pesan
dari sahabat, aku abaikan. Keesokannya ku putuskan keluar dari grup itu tanpa
perlawanan.
Ya begitu saja, karena bagi lelaki model beliau toh
apapun yang aku katakan jatuhnya adalah alasan. Alasan untuk tidak menuruti
perintah Tuhan dan melanggar standarnya tentang ketaatan.
Sejak itu aku mulai melihat satu persatu manusia yang
disebut laki-laki di sekitarku. Ayah, paman dan kenalan, bisa diidentifikasikan
dalam 1 kategori: lelaki patriarki yang percaya perempuan harus selalu sesuai
ekspektasi.
Photo by Felix Mooneeram on Unsplash
|
Menonton Kim Ji Young seperti melihat diri sendiri. Sejak
kelas 5 SD aku dilarang memakai baju dan celana pendek baik di luar maupun di
dalam rumah. Aurat!!
Sejak menginjak usia 25 tahun, mereka mulai bertanya
kapan aku menikah dan berhenti menyia nyiakan waktu dengan bepergian untuk
belajar.
Menonton Kim Ji Young seperti mendengar teman-temanku
bercerita tentang lelahnya berbeda pendapat dengan mertua tentang cara mengurus
anak-anak mereka. Tentang kegelisahan meninggalkan anak untuk bekerja atau
menjadi ibu rumah tangga dengan keadaan tabungan yang terus berkurang.
Menonton Kim Ji Young rasanya seperti melihat kembali luka
yang aku bawa sejak kecil. Bagaimana adik laki-lakiku tertawa-tawa di ruang
tengah menonton televisi sedeng aku membereskan meja makan dan mencuci piring.
Menonton Kim Ji Young membuat aku ingin memeluk sebanyak
mungkin perempuan yang memiliki luka yang sama dan tanpa sadar selalu
menyalahkan diri sendiri.
Yang kebingungan dan kehilangan jati diri karena selalu
diidentifikasikan dengan orang lain; istri seseorang, anak seseorang, ibu
seseorang.
Yang lelah dan merasa selalu berhadapan dengan
dinding-dinding besar yang berusaha menjepit di ruangan gelap dan sepi.
Photo by Becca Tapert on Unsplash
|
Percayalah, kamu tidak sendiri. Dan untuk mengubah semua
ini, kita mesti berani. Berani bicara dan jadi bagian solusi.
Mari berkelompok dan menginisiasi berbagai kumpulan
perempuan untuk diskusi, bercerita, berbagi ide dan mewujudkannya.
Mari bersinergi dengan laki-laki di luar sana untuk
menjadikan rumah dan lingkungan kerja berkonsep mubaadalah.
Mari bangkit dan jadi perempuan yang suaranya terdengar
dan wajahnya dikenali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar