Kamis, 30 Januari 2020

MENONTON KIM JI YOUNG 1982, MELIHAT AKU DI DALAMNYA


Kamu harus berpakaian dengan layak,” ucap Ayah Kim Ji Young saat menjemput putrinya yang menangis ketakutan usai turun dari bus. Keterangan lebih lanjut tentang apa yang terjadi di bus tersebut bisa kamu saksikan sendiri di filmnya.
Aku, kamu dan sepertinya hampir semua perempuan di dunia ini pasti pernah mendengar nasihat dengan maksud yang sama.

Photo by Han Chenxu on Unsplash



Hai kamu perempuan, berpakaianlah sesuai aturan agama agar aku bisa menjaga mata dan syahwatku. Jangan tambahi dosa kami dengan melihatmu berpakaian tapi telanjang.”
Kalau ini versi ‘solehnya’ yang intinya juga sama, mengatur bagaimana perempuan mesti berdandan.


Beberapa waktu lalu seorang Akhi di grup alumni forum keislaman yang aku ikuti saat kuliah dulu, memotret postingan instagramku dan mengirimkannya ke GRUP. Iya, grup bukan pesan pribadi. Mengatakan bahwa aku telah berubah dan menasihati agar aku bisa menjadi contoh adik-adik lain dalam berpakaian.

Photo by Hasan Almasi on Unsplash

Dipostingan tersebut aku mengenakan jilbab agak pendek dengan pose mengangkat karton yang bertuliskan “I Love Myself”. Dalam caption di bawahnya aku bercerita tentang masa-masa depresi yang aku alami dan bagaimana melewatinya dengan berbagai macam metode.


Dan si Akhi entah membaca atau tidak, memutuskan untuk meninggalkan konteks postingan dan mengubahnya menjadi bahan kuliah seputar standar pakaian muslimah.
Sebagai catatan aku sudah tidak kuliah sejak 2017. 2 tahun kemudian; 2019, dia dengan ‘niat baik’ menunjukkan kepedulian dengan sadar menjadikan aku ladang dakwah sekaligus contoh buruk yang layak dipermalukan. Lebih dari 20 orang laki-laki dan perempuan ada di dalam grup tersebut.


Sahabat baikku mengirimkan pesan singkat setelah mengetahuinya, “Apa perlu kita habisi dia?”
Aku sempat terdiam sejenak, merasa tidak nyaman, tentu saja dengan pikiran terburuk di kepala.
“Ya ampun siapa saja yang sudah membaca? Kenapa dia tega sekali padahal kami teman saja bukan. Katanya mau jadi grup silaturahmi kok ini malah jadi ladang bully?”


Ada berbagai alternatif di kepalaku saat itu:
Bagaimana kalau aku kirim pesan pribadi ke beliau? Isinya minta dihapus dengan baik-baik atau serapah sekalian, agar lega. Atau pura-pura tidak tahu saja?


Hari itu aku jalani dengan perasaan tidak nyaman. Pesan dari sahabat, aku abaikan. Keesokannya ku putuskan keluar dari grup itu tanpa perlawanan.
Ya begitu saja, karena bagi lelaki model beliau toh apapun yang aku katakan jatuhnya adalah alasan. Alasan untuk tidak menuruti perintah Tuhan dan melanggar standarnya tentang ketaatan.


Sejak itu aku mulai melihat satu persatu manusia yang disebut laki-laki di sekitarku. Ayah, paman dan kenalan, bisa diidentifikasikan dalam 1 kategori: lelaki patriarki yang percaya perempuan harus selalu sesuai ekspektasi.


Menonton Kim Ji Young seperti melihat diri sendiri. Sejak kelas 5 SD aku dilarang memakai baju dan celana pendek baik di luar maupun di dalam rumah. Aurat!!
Sejak menginjak usia 25 tahun, mereka mulai bertanya kapan aku menikah dan berhenti menyia nyiakan waktu dengan bepergian untuk belajar.


Menonton Kim Ji Young seperti mendengar teman-temanku bercerita tentang lelahnya berbeda pendapat dengan mertua tentang cara mengurus anak-anak mereka. Tentang kegelisahan meninggalkan anak untuk bekerja atau menjadi ibu rumah tangga dengan keadaan tabungan yang terus berkurang.


Menonton Kim Ji Young rasanya seperti melihat kembali luka yang aku bawa sejak kecil. Bagaimana adik laki-lakiku tertawa-tawa di ruang tengah menonton televisi sedeng aku membereskan meja makan dan mencuci piring.


Menonton Kim Ji Young membuat aku ingin memeluk sebanyak mungkin perempuan yang memiliki luka yang sama dan tanpa sadar selalu menyalahkan diri sendiri.
Yang kebingungan dan kehilangan jati diri karena selalu diidentifikasikan dengan orang lain; istri seseorang, anak seseorang, ibu seseorang.
Yang lelah dan merasa selalu berhadapan dengan dinding-dinding besar yang berusaha menjepit di ruangan gelap dan sepi.

Photo by Becca Tapert on Unsplash

Percayalah, kamu tidak sendiri. Dan untuk mengubah semua ini, kita mesti berani. Berani bicara dan jadi bagian solusi.


Mari berkelompok dan menginisiasi berbagai kumpulan perempuan untuk diskusi, bercerita, berbagi ide dan mewujudkannya.
Mari bersinergi dengan laki-laki di luar sana untuk menjadikan rumah dan lingkungan kerja berkonsep mubaadalah.
Mari bangkit dan jadi perempuan yang suaranya terdengar dan wajahnya dikenali.
Agar saat perempuan-perempuan di generasi berikutnya lahir, film-film, buku-buku bacaan selanjutnya yang bisa mereka nikmati bertema inspirasi, petualangan dan cerita-cerita kebaikan bukan lagi hanya luka dan ketidak berdayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar