Jumat, 20 April 2018

Tentang Anak Korban Perceraian

Kali ini aku mau menulis sesuatu yang cenderung greget. Sebenarnya sudah cukup lama dirasa mengganjal namun baru sekarang ada kesempatan menuliskan dan membagikannya.


Topik tentang perceraian bisa dikatakan masih sangat sensitif untuk dibicarakan di Indonesia. Berbagai stigma negatif yang mengikuti, belum lagi larangan agama serta nilai sosial yang ada membuat pembicaraan tentang perceraian biasanya berhenti pada ajang gosip antar tetangga.


Sebagai seseorang yang belum menikah dan bukan berasal dari keluarga yang bercerai sebenarnya inti tulisan ini apa sih?--Jadi di sini aku ingin menyoroti tentang satu topik mengenai perceraian yang jarang sekali dibicarakan.

Cr. image Freepik (free to use) 

Kita mungkin sudah sering dengar perihal anak disebut-sebut dalam kasus perceraian tapi biasanya hanya sampai pada pembahasan perebutan hak asuh anak. Dia tinggal di mana? Seberapa sering pihak yang tidak memiliki hak asuh untuk bisa bertemu per minggu? Bagaimana pembagian pemenuhan nafkah atasnya? Dan sebagainya yang biasanya bersifat kuantitatif semata. Tapi sadarkah dari semua masalah yang lebih sering diributkan dan menjadi ajang selisih antar pasangan yang bercerai ada satu hal yang biasanya terlewat? Pertimbangan tentang sisi emosional anak korban perceraian orang tua.


Secara pribadi, aku cukup mengerti dan memiliki pemikiran bahwa tidak semua perceraian itu buruk sama seperti tidak semua pernikahan layak dipertahankan, aku tidak merasa perlu menggugat pihak orang tua yang memutuskan berpisah. Karena ada waktu di mana berpisah, mungkin adalah satu-satunya cara bertahan hidup. Namun sebelum atau sesudah berpisah, terutama jika perceraian itu memungkinkan meninggalkan trauma, aku sangat menghimbau para orang tua untuk membawa anak-anaknya melakukan konseling setidaknya sekali. Karena ada banyak hal tentu saja yang akan berubah baik sebelum, selama dan setelah proses perceraian terjadi yang pasti berubah dan memiliki kemungkinan besar mengganggu kestabilan emosi anak.

Cr. image Freepik (free to use) 

Perihal pertimbangan ini sebenarnya terpantik dari satu kalimat yang diucapkan seorang selebriti ketika suatu waktu aku menonton televisi di mana Beliau yang adalah seorang pria yang pernah bercerai ditanya perihal kedekatan sang anak dengan calon Ibu tirinya.
He said, “Dia ngerti kok, malah dia (si anak)  itu dewasa banget.”


Jujur aku sempat merasa sedikit emosi mendengarnya. Walau sekarang jika dipikir lagi ya mungkin saja memang anak tersebut cenderung mudah mengerti, tidak emosional dan sudah melakukan konseling dengan pihak yang lebih paham. Hanya saja aku yg waktu itu merasa sedikit tidak adil beranggapan anak sekecil itu sudah mengerti, menerima dengan baik apalagi diberi label ‘dia dewasa banget’.


Karena menurutku, seperti hak orang tua untuk memutuskan berpisah maka anak juga punya hak untuk diberi penjelasan, diberi waktu dan mungkin disatu dua kesempatan diberi ruang untuk menunjukkan kefrustasian.

Cr. image Freepik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar