Perbedaan itu menjelma
menjadi sebuah garis lurus, awalnya samar, omong kosong dan hanya berbuah celetukan,
namun kian hari kian jelas, kian lurus dan tegas, sayangnya aku ada disisi
berlainan, berbeda arah dan tempat aduan.
Pernah semua menjadi
perkara kita, pernah menjadi pertimbangan, ditengah ilalang, angin musim
penghujan yang membawa butiran air tercium samar, kian dekat dan berhembus menyapu
riak-riak wajah kelelahan, kala itu sensasinya menenangkan.
Aku hanya tertawa.
Tertawa miris rupanya.
Bagaimana ini, darah
dalam tubuhku terasa mendidih meminta aku membela, aku mencintai mereka, yang
terikat, tersurat menjadi bagian paling dalam, kuat dan penuh sesak akan kasih
sayang. Diseberang garis batas aku mencintai budi cintanya, menyayangi segala
proses yang tlah terurai menjadi melodi saat noktah tak mampu lagi melebar
terlalu besar.
Kian rumit. Mencintai,
membenci, bahagia, menangis membuat lelah hingga kelelahan, semua terangkum
menjadi sajak-sajak air mata, manusia masih kalut, sementara nyamuk terus
hinggap dan kian kencang mengepakkan sayap-sayap kecilnya, sementara hati kian
terseret menjauh dan terbang, kicau suara lingkaran itu kian samar, berbanding
terbalik dengan segala batas, yang kian jelas.
Bingung, kebingungan
kala tak lagi ada alasan sehati, tak ada lagi homofili, kesetaraan menjadi
keanehan hingga perbedaan menjadi semacam penyakit menular yang harus
dihindari, dilarang untuk didekati, dikecam hingga tak sempat dikenali, maka haruskah
aku menjadi selaksa bayangan yang kian gelap dan terlupakan, perlahan pergi
saat bulan tertutup awan dan mulai mencari perkemahan yang terang, yang mencintai
perbedaan, yang tak lagi jijik dengan keasingan, yang tak lagi membiarkanku
malu untuk mengangkat tangan dan berseru "aku mencintai keterbatasanku". Batas
kian jelas, disatu sisi sayang kian samar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar