Kata mereka berhenti
saja, jembatan itu rapuh dan jalan didepan begitu gelap.
Aku merangkul Ibu,
dengan gemeretuk gigi yang kucoba samarkan, kutatap wajah adik dengan senyum
tanda siap menjadi pegangan.
Haruskah menyerah ?
Ada bisik masgul yang
terlepas dalam lirih doa Ibu, ada isak tertahan dan bekas jejak tangis dipipi
adikku.
Haruskah berpangku
tangan ?
Lelah rasanya saling
berpura, seolah semua baik-baik saja.
Rumah ini menjadi
gelap, cat dinding yang mengelupas seolah saksi hidup yang terdiam, meringkuk,
atau itukah aku ?
Lama kutatap,
memegangnya perlahan seolah menarikku pada metamor terbalik, kontruksi yang tak
pernah kupilih, lubang gelap yang berkompromi dengan gravitasi.
Si kecil itu kuiba
penuh kasihan, ia menangis lagi, hingga tersedu sedan. Tertidur dibawah
ranjang, kedinginan.
Ingin kubelai, karna
kutahu persis kebutuhannya akan kasih sayang. Ingin kudendangkan kata maaf,
karna dulu aku tak punya keberanian. Ingin kukuatkan dengan bisik syahdu dan
doa penghantar tidur yang merdu.
Aku tau ketakutanmu,
karna kau adalah aku.
Aku yang dipenuhi
keraguan, aku yang benci dengan bentak penuh lelah hasil tumpukan masalah
diluar, aku yang lagi-lagi harus menatapnya dan memanggil penuh hormat dengan
sebutan penuh kasih sayang dan kehormatan. Lagi, penuh dusta aku tersenyum dan
mengelap tetes air mataku dengan baju, diam-diam, agar tak ketahuan.
Tersenyum, karena
sekelebat bayang seolah menjadi jawaban.
Ya, memoar.
Maka biar kini, kita
mulai kembali, hanya aku, ibu dan adikku. Dengan penuh cinta, doa dan kata
mesra ditingkahi tawa. Biar saja orang mau kata, toh saat kita berduka mereka
hanya menonton disudut gardu keamanan. Hanya ingin tahu, tak sampai turut
membantu.
Memar bekas pukulan
harusnya membuat kita tak lagi ragu, bersama kita pernah melewati saat paling
sulit maka meniti diatas jembatan rapuh hanya membuat kita jatuh, tapi kita
bisa bangkit dan terus tersenyum sambil mencari jalan lain.
Kita harus berubah,
cerah. Biar yang dulu jadi cerita, biar kata maaf dan doa perlahan kita selipkan
untuknya, namun bersama tak ada lagi kesempatan terbuka.
Biarlah, proses ini kita
nikmati, dengan elusan tangan Ibu, senyum yang tak lagi sendu dan doanya yang madu. Maka
nikmatilah, adik kecilku, tepukkan singkat dibahu dan kata penuh percayaku padamu,
nikmati semua, karena tlah banyak masa cinta dan tawa yang tlah kau gadai
dengan tangismu dulu, maka bergembiralah adikku, tertawalah dengan polos dan
mulailah merajut asa tanpa perlu risau dengan masa depan, karena saat ini dan
nanti milikmu, untukmu.
Dan untukku, ah biar
saja kuselipkan lewat sepertiga malam, lewat bincang mesra denganNya, Sang
Cinta.
* Didedikasikan untukmu yang tlah menginspirasi, lewat teladan, lewat senyum yang tak pernah samar meski beban tak jua berkurang.
Semoga menjadi satu doa indah untukmu dan keluarga. Teruslah berjuang dan menginspirasi. Bersabar dalam kebenaran, Alloh mencintaimu, saudaraku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar