Senin, 24 Juni 2013

Memoar


Kata mereka berhenti saja, jembatan itu rapuh dan jalan didepan begitu gelap.

Aku merangkul Ibu, dengan gemeretuk gigi yang kucoba samarkan, kutatap wajah adik dengan senyum tanda siap menjadi pegangan.

Haruskah menyerah ?

Ada bisik masgul yang terlepas dalam lirih doa Ibu, ada isak tertahan dan bekas jejak tangis dipipi adikku.
Haruskah berpangku tangan ?

Lelah rasanya saling berpura, seolah semua baik-baik saja.


Rumah ini menjadi gelap, cat dinding yang mengelupas seolah saksi hidup yang terdiam, meringkuk, atau itukah aku ?

Lama kutatap, memegangnya perlahan seolah menarikku pada metamor terbalik, kontruksi yang tak pernah kupilih, lubang gelap yang berkompromi dengan gravitasi.

Si kecil itu kuiba penuh kasihan, ia menangis lagi, hingga tersedu sedan. Tertidur dibawah ranjang, kedinginan.
Ingin kubelai, karna kutahu persis kebutuhannya akan kasih sayang. Ingin kudendangkan kata maaf, karna dulu aku tak punya keberanian. Ingin kukuatkan dengan bisik syahdu dan doa penghantar tidur yang merdu.
Aku tau ketakutanmu, karna kau adalah aku.

Aku yang dipenuhi keraguan, aku yang benci dengan bentak penuh lelah hasil tumpukan masalah diluar, aku yang lagi-lagi harus menatapnya dan memanggil penuh hormat dengan sebutan penuh kasih sayang dan kehormatan. Lagi, penuh dusta aku tersenyum dan mengelap tetes air mataku dengan baju, diam-diam, agar tak ketahuan.



Tersenyum, karena sekelebat bayang seolah menjadi jawaban.  Ya, memoar.

Maka biar kini, kita mulai kembali, hanya aku, ibu dan adikku. Dengan penuh cinta, doa dan kata mesra ditingkahi tawa. Biar saja orang mau kata, toh saat kita berduka mereka hanya menonton disudut gardu keamanan. Hanya ingin tahu, tak sampai turut membantu.

Memar bekas pukulan harusnya membuat kita tak lagi ragu, bersama kita pernah melewati saat paling sulit maka meniti diatas jembatan rapuh hanya membuat kita jatuh, tapi kita bisa bangkit dan terus tersenyum sambil mencari jalan lain.

Kita harus berubah, cerah. Biar yang dulu jadi cerita, biar kata maaf dan doa perlahan kita selipkan untuknya, namun bersama tak ada lagi kesempatan terbuka.

Biarlah, proses ini kita nikmati, dengan elusan tangan Ibu, senyum yang tak lagi sendu dan doanya yang  madu.  Maka nikmatilah, adik kecilku, tepukkan singkat dibahu dan kata penuh percayaku padamu, nikmati semua, karena tlah banyak masa cinta dan tawa yang tlah kau gadai dengan tangismu dulu, maka bergembiralah adikku, tertawalah dengan polos dan mulailah merajut asa tanpa perlu risau dengan masa depan, karena saat ini dan nanti milikmu, untukmu.

Dan untukku, ah biar saja kuselipkan lewat sepertiga malam, lewat bincang mesra denganNya, Sang Cinta.

* Didedikasikan untukmu yang tlah menginspirasi, lewat teladan, lewat senyum yang tak pernah samar meski beban tak jua berkurang.
Semoga menjadi satu doa indah untukmu dan keluarga. Teruslah berjuang dan menginspirasi. Bersabar dalam kebenaran, Alloh mencintaimu, saudaraku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar