Sabtu, 16 November 2013

Metamor Kita


Bicara tentangmu, memaksaku menengok masa lalu.

Betapa telah jauh kita melangkah, telah begitu banyak kenangan yang kita tinggalkan dan kerinduan untuk mengulang.

Perjumpaan awal dalam balutan seragam putih biru. Kita berteman, terjadi begitu saja. Tanpa pernah kita rencanakan bahkan aku tlah lupa apakah kita pernah benar-benar berkenalan saling menyebutkan nama dan berjabat tangan.

Dan kini dalam bingkai jas almamater hijau tua, bukti kita telah melangkah kian jauh dari masa penuh canda dan tawa tak kenal waktu, tempat dan suasana.

Mbak, dulu sekali dalam hati pernah kusebut kau sebagai ibu peri. Karena kebaikan hatimu begitu meneduhkan. Kau mengajariku berkorban dan berteman, dalam arti yang lebih dalam, lebih pekat dengan aroma kasih sayang.

Dan kita pun menjadi kian erat, menjadi seakan telah terhubung darah, lebih dekat rasanya bila beban ini dibagi bersamamu dan dua lagi sahabat kita dibandingkan dengan mereka yang ku sebut saudara karena aliran darah.

Dan dalam flashback panjang di sore yang menggelap karena gumpalan awan yang berarak menutup singgasana mentari di atas puncak kepala, aku tengah mengulang dengan seksama memori kita. Aku, kamu, eneng dan yeni si kura-kura.

Hampir tak pernah ada pertengkaran sengit antar kita, hampir tak pernah ada aksi saling diam lebih dari sehari, hampir tak pernah ada adu teriakan-teriakan kejam terlontar dari bibir.

Hari-hari yang dulu seingatku telah kita isi dengan canda yang cukup mengganggu mereka yang tak mengerti apa yang lucu, kita penuhi dengan wajah khawatir eneng saat tertipu, tawa tergelakku melihat yeni berlari kesetanan takut ku tinggal, bahasa-bahasa aneh mbak ana yang bahkan tak akan ditemukkan di kamus sanksekerta, jawa hingga belanda dan kenekatan yeni terbang dari atas angkutan umum yang membuat khawatir supir dan penumpang, tapi kita temannya justru tertawa hingga sakit perut.

Momen-momen emas yang tak mungkin rasanya bisa persis sama kita rasa untuk kedua kalinya.
Kala itu gerbang kedewasaan masih begitu samar, seakan perpisahan tak akan pernah ada.
Setiap perjumpaan kita anggap remeh saja, toh esok kan masih ada, masih bisa bersua.

Namun kini baru benar terasa, saat rindu hanya mampu kita ucap lewat sambungan telpon berjam-jam yang kemudian terputus dengan bunyi tut.. tut.. keras, pertanda pulsa telah terkuras.
Saat ada yang tengah tergeletak di dera demam, flu, pusing hingga kepala yang meler, kita hanya mampu memberi semangat dan mengucap penggalan namanya dalam doa meminta kesembuhan.

Kita di antara bejubel tugas dan amanah, tentu tak bisa terlalu sering bertemu seperti dulu.
Tak hendak bersungut, menyalahkan waktu atau amanah yang bertumpuk di punggung.

Hanya ingin berbagi sedikit jeda, yang bisa kita nikmati bersama. Saat kau baca, aku harap ada sepotong episode masa lalu yang mampu menghadirkan tawa di tengah berbagai tekanan kehidupan gadis dewasa.

Saat kau baca, aku hanya ingin membagi sedikit mutiara rasa atas terlewatinya masa, bersama kalian aku temukan surga semesta. Tempat berbagi yang tak sempurna memang, namun kalian menjanjikan ada, menjadi bagian metamorfosa seorang Marlia Alvionita, menjadi demikian dewasa menuntun, membagi inspirasi walau hanya lewat sepenggal cerita tentang asa yang tengah kita bangun di medan perjuangan masing-masing.

Mencintaimu sahabatku. Semoga kelak di RidhoiNya kita terhimpun di surga sebenarnya.


Selamat telah berumur 21. Semoga kian berkah sisa usia di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar