Bicara tentangmu,
memaksaku menengok masa lalu.
Betapa telah jauh kita
melangkah, telah begitu banyak kenangan yang kita tinggalkan dan kerinduan
untuk mengulang.
Perjumpaan awal dalam
balutan seragam putih biru. Kita berteman, terjadi begitu saja. Tanpa pernah
kita rencanakan bahkan aku tlah lupa apakah kita pernah benar-benar berkenalan
saling menyebutkan nama dan berjabat tangan.
Dan kini dalam bingkai
jas almamater hijau tua, bukti kita telah melangkah kian jauh dari masa penuh
canda dan tawa tak kenal waktu, tempat dan suasana.
Mbak, dulu sekali
dalam hati pernah kusebut kau sebagai ibu peri. Karena kebaikan hatimu begitu
meneduhkan. Kau mengajariku berkorban dan berteman, dalam arti yang lebih
dalam, lebih pekat dengan aroma kasih sayang.
Dan kita pun menjadi
kian erat, menjadi seakan telah terhubung darah, lebih dekat rasanya bila beban
ini dibagi bersamamu dan dua lagi sahabat kita dibandingkan dengan mereka yang
ku sebut saudara karena aliran darah.
Dan dalam flashback
panjang di sore yang menggelap karena gumpalan awan yang berarak menutup
singgasana mentari di atas puncak kepala, aku tengah mengulang dengan seksama
memori kita. Aku, kamu, eneng dan yeni si kura-kura.
Hampir tak pernah ada
pertengkaran sengit antar kita, hampir tak pernah ada aksi saling diam lebih
dari sehari, hampir tak pernah ada adu teriakan-teriakan kejam terlontar dari
bibir.
Hari-hari yang dulu
seingatku telah kita isi dengan canda yang cukup mengganggu mereka yang tak
mengerti apa yang lucu, kita penuhi dengan wajah khawatir eneng saat tertipu,
tawa tergelakku melihat yeni berlari kesetanan takut ku tinggal, bahasa-bahasa
aneh mbak ana yang bahkan tak akan ditemukkan di kamus sanksekerta, jawa hingga
belanda dan kenekatan yeni terbang dari atas angkutan umum yang membuat khawatir
supir dan penumpang, tapi kita temannya justru tertawa hingga sakit perut.
Momen-momen emas yang
tak mungkin rasanya bisa persis sama kita rasa untuk kedua kalinya.
Kala itu gerbang
kedewasaan masih begitu samar, seakan perpisahan tak akan pernah ada.
Setiap perjumpaan kita
anggap remeh saja, toh esok kan masih ada, masih bisa bersua.
Namun kini baru benar
terasa, saat rindu hanya mampu kita ucap lewat sambungan telpon berjam-jam yang
kemudian terputus dengan bunyi tut.. tut.. keras, pertanda pulsa telah
terkuras.
Saat ada yang tengah
tergeletak di dera demam, flu, pusing hingga kepala yang meler, kita hanya
mampu memberi semangat dan mengucap penggalan namanya dalam doa meminta
kesembuhan.
Kita di antara bejubel tugas dan amanah, tentu
tak bisa terlalu sering bertemu seperti dulu.
Tak hendak bersungut,
menyalahkan waktu atau amanah yang bertumpuk di punggung.
Hanya ingin berbagi
sedikit jeda, yang bisa kita nikmati bersama. Saat kau baca, aku harap ada
sepotong episode masa lalu yang mampu menghadirkan tawa di tengah berbagai
tekanan kehidupan gadis dewasa.
Saat kau baca, aku
hanya ingin membagi sedikit mutiara rasa atas terlewatinya masa, bersama kalian
aku temukan surga semesta. Tempat berbagi yang tak sempurna memang, namun
kalian menjanjikan ada, menjadi bagian metamorfosa seorang Marlia Alvionita,
menjadi demikian dewasa menuntun, membagi inspirasi walau hanya lewat sepenggal
cerita tentang asa yang tengah kita bangun di medan perjuangan masing-masing.
Mencintaimu sahabatku.
Semoga kelak di RidhoiNya kita terhimpun di surga sebenarnya.
Selamat telah berumur
21. Semoga kian berkah sisa usia di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar