“Penyejuk mata, pengobat hati itu
disebut keluarga”
Malam ini jatuh terduduk merindu, butiran bening
membuat mata kian buram seolah selaput berkabut
membentuk kaca semu.
Aku pilu. Pertama kalinya merindukan kalian
semua secara bersamaan, dan aku tak tahan untuk tak menulis, membocorkan wadah
hati, takut sesak kian menyiksa jika keluar dengan isakan.
Saudaraku, yang entah apa artiku bagimu.
Perpisahan yang kini tlah sama kita jalani, membuat kita saling terpisah diri,
memaksa kita berlari dalam lintasan masing-masing, bermetamorfosa rupa, sifat
dan sikap kita. Ilmu dan pengalaman membuat kita kian gemuk, menderita
disana-sini, lalu berbagi tawa dengan mereka wajah-wajah baru. Kian dewasa dan
termakan usia, melewati tiap babak kehidupan dengan kecemasan dan prasangka
bias akan kehidupan didepan yang tanpa perjanjian.
Perpisahan itu tak menimbulkan banyak kata
sayang dan air mata diawal, tapi entah kini saat episode membawaku pada
pertengahan, semua
kata cinta terasa ingin kubagi bersama, duduk-duduk dan saling diam. Ya, karena
hanya diam yang mampu mengejawantahkan saat kata tlah kelu untuk ku utarakan,
sambil menatap wajah satu persatu, mengais kembali memori lama tentang seperti
apa kalian dulu, menarik bibir dan berkata “Ah.. Tlah banyak yang berubah.”
Kadang ingin kuulang, namun seperti dulu saat masa
kanak ku, merajuk karena ternyata janji bermain hari ini tak pernah seasyik
hari kemarin. Akhirnya hanya terduduk lesu sambil menggerutu, sambil memilin benang-benang kesimpulan bahwa
apa yang tlah terjadi kemarin terasa akan sangat sulit diulang sama persis
tanpa cela, dengan senyum yang sama, dengan kepolosan canda, rasanya tak
mungkin, dan takkan mungkin sama.
Karena waktu tlah menarikmu, menarik kita untuk
menjalani dimensi realita yang takkan ada kesempatan kedua untuk kata seandainya.
Kelak bersediakah kalian mewujudkannya ?
Berjumpa lagi mewujudkan mimpiku akan seperti apa obrolan dan kesan yang kita
tinggalkan. In shaa Allah, jika kesempatan waktu dan usia memberi sedikit
kelegaan bagi jiwa-jiwa kecil kita untuk berjumpa. Atau jika tak sempat bersua
di dunia, mungkinkah tempat nan indah tak berkesudahan bernama surga bersedia
menampung kerinduan hati pada illahi dan saudara sholeh sholehah di dunia ini ?
Karena pada dasarnya tak ada yang hakiki di
tempat bernama dunia, kelak oase cinta hanya akan abadi dan kekal jika tlah
dalam dimensi yang menyatu dengan singgasana-Nya.
Diselesaikan tepat pukul 20:20 WIB, dengan sedikit revisi sebelum publish.
11 April 2013, di kamar kosan kecil, belum makan
malam, dan sempat berkaca-kaca setelah shalat Isya. Efek ukhuwah ini membuatku
harus berkata “SubhanAlloh…”
Marlia Alvionita
yang sedang merindu ^o^
Loving you, guys.
Didedikasikan untuk
Neng Rizky,
si Bidadari bermata jeli, yang lebih mirip sule dibandingkan Ma’ Tati
Mba nana, Ibu peri putih tempat ku bercerita
Yeni, nona dahsyat dengan 1.000 watt semangat
Pradiska, atlit pramuka yang kini jadi ikhwan
plus calon guru teladan
Erick alan, pengembara ilmu, penguras tambang
minyak dan emas, atlit Mapala yang (semoga) sukses jadi ustad
Dodi, calon suami sholeh, kalau sudah berhenti pacaran.
*ngelap ingus..
BalasHapusBhuahahaa...inget pramuka yang rambutku kebakar gara2 maen bola api, dan masih dengan wajah cool
Inget erick alan yang ketawa puas ngeliat chacha ngegelundung dari atas kursi. Mungkin terbakarnya rambutmu semacam karma gitu. rik. Hahha...
HapusHolahop api, kelompok cetek, eneng yang lelet banget meniti dahan pohon, pradiska dan kelompoknya yang nggak jelas banget yel-yelnya.
Memori membludak, bikin pengen elap ingus juga >o<
Hoalahhh....Knapa aku calon ustadz? apa gara2 aku ngelarang kamu minum sambil berdiri...huahahahahaa
BalasHapusRick :( yang kayak gitu aja di inget.
Hapushoalahhh marr
HapusMenyimak...
BalasHapusMenyimpulkan: butuh elap.
*ngasih elap*
Hapus