Selasa, 19 Oktober 2021

Squid Game dalam Tagar

 

Photo by Vadim Bogulov on Unsplash           


Hype Squid Game masih terasa, simpulkecil mau ikutan juga bikin tulisan tentangnya.

Squid Game daripada hanya cerita tentang pertarungan bertahan hidup yang jadi ribut karena katanya hasil contekan sana sini, aku lebih suka membicarakannya dari sisi lain. Bagaimana ia dengan gamblang mendongengkan hubungan miskin kaya.

Highlight adegan: Ketika semua orang ketakutan setelah permainan pertama, lalu melakukan voting untuk menentukan nasib selanjutnya.

Bisa dilihat bagaimana orang-orang yang punya kuasa seolah memberi pilihan. Padahal itu semua adalah bagian dari permainan. Berlagak malaikat dan menawarkan opsi. Setelah sebelumnya diam-diam mengumpulkan informasi dan berpangku tangan melihat ketidak adilan di depan mata. Orang-orang berkuasa itu tidak peduli. 

PHK, ketidak adilan upah, masa depan orang yang keluar dari penjara atau yang ingin minta suaka. Tidak ada makan siang gratis di atas meja.

Namun di sisi lain, orang-orang miskin, mudah ditipu dan tidak punya daya ternyata juga bisa membalik keadaan. Walau cuma sebentar di film itu sempat ditunjukkan. 

Kekuasaan macam apa pun hanya akan berhasil jika punya pengikut.

Karena itu, kita yang tidak punya harta dan kuasa ini harus punya satu suara, idealnya. 

Suara keadilan, suara kebenaran. Bersatu untuk melawan.

Squid Game berlanjut karena orang-orang putus asa memilih berdiri sendiri-sendiri, saling sikut dan jadi mainan. Alih-alih berbagi informasi dan menghancurkan permainan menjijikkan yang memandang rendah martabat dan nyawa manusia.

Photo by pascal Stöckmann on Unsplash

Contoh nyata saat orang-orang tidak punya kuasa ber-konsensus di media sosial beberapa hari belakangan bisa dilihat dengan adanya tagar #PercumaLaporPolisi 

Bukan satu dua cerita dan pengalaman, tidak di satu dua provinsi dan jenis aduan. Di mana-mana, berbagai macam perkara, penanganan institusi satu ini nyaris selalu NOL BESAR.

Istilah oknum patut dipertanyakan, benarkah mereka masih kalah jumlah dari yang baik dan bisa dipercaya atau hanya kata kosong yang dijadikan tameng agar sebuah badan besar tetap ongkang-ongkang tidak mau berbenah?

Kita tidak punya daya melawan jika sendirian, namun bersama malah dituduh mengganggu jalannya kemerdekaan. 

Sebelum semua berubah jadi perang, bagaimana jika polisi mulai melihat masyarakat sebagai kawan?

Ya, bukan sebaliknya. 

Mulailah dari yang punya source terbesar. Mulailah dari yang punya identitas jelas dengan seragam dan seperangkat kewajiban serta hak.

Bagaimana jika alih-alih meminta masyarakat mengerti, polisi juga mengevaluasi? 

Visi, kinerja dan tentunya perangkat dari yang terendah hingga tertinggi.

Bagaimana jika alih-alih sibuk mengajak kelahi tiap orang yang memberi opini, polisi-polisi ini menunjukkan adanya perubahan yang signifikan baik dari pelayanan maupun keberhasilan kasus yang dituntaskan?

Suatu hari nanti, alih-alih jadi pemain dan VIP, bagaimana kalau kita semua tolong polisi yang jatuh ke jurang? 

Suatu hari nanti, bisakah kita benar-benar melihat polisi sebagai institusi yang bisa dipercaya dan andalkan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar