Jumat, 19 Juli 2019

Ayah dan Ponsel Merah

Karena sekarang sudah ada Instagram yang dilengkapi dengan berbagai tools yang bisa buat semakin betah dan lebih mudah terdisktraksi dari menulis panjang di blog, jadilah si Simpul Kecil diacuhkan sejenak. Belum lagi, aku punya proyek baru yang akan segera rilis Agustus ini, insyaAllah. Tapi rindu menang kali ini, sensasi menulis di blog rasa-rasanya belum bisa dikalahkan oleh menulis di medium manapun.

Hari ini aku mau cerita tentang 'pengorbanan seorang Ayah'. Walau tentu saja aku kurang menyukai pilihan kata 'pengorbanan' yang awalnya dulu ku pikir seolah merupakan aksi yang dipaksakan. Kok pengorbanan sih kesannya heroik sekali padahal kan sudah jadi konsekuensi jika memutuskan punya anak ya pasti ada yang perlu dilakukan sebagai akibat dari perbuatan, iya kan?

Sampai akhirnya mengalah dengan istilah setelah melihat bagaimana Pamanku dengan tiga orang anak yang masih bocah-bocah datang membawa ponsel pintar baru ke rumah. Malam saat seisi rumah sudah siap tidur, Paman datang mencariku.

"Yay, ini gimana buka kuncinya?", tanya Beliau setelah memanggil-manggil namaku meminta keluar dari kamar.

"Hp baru?"

"Iya, buat Ginda.", senyum Beliau mekar, lebar.


Photo by Braden Collum on Unsplash
Pamanku yang juga aku panggil Ayah memang tidak tahu banyak soal gawai, dunia World Wide Web dan hal-hal yang berhubungan dengan digital lainnya. 
Namun sama seperti lapangan hijau, angin dan ilalang ilalang, manusia seperti Beliau lah yang tetap menjaga kewarasanku dan secara luas masyarakat desa ini.

Di antara hiruk pikuk adu pendapat, dunia yang serba cepat, disaat kita mudah pamer hal baru di media sosial, Ayahku dan kebanyakan orang tua di sini masih sangat canggung meski hanya sekadar memegang ponsel pintar besar berwarna warni itu. Bagi mereka, ponsel hanya untuk menelpon dan berkirim pesan. Alhamdulillah sekarang sudah mulai paham menggunakan aplikasi WhatsApp yang lebih memudahkan. 


Photo by Luke Porter on Unsplash

Melihat Beliau yang mampu secara keuangan namun memilih menahan diri dan menomor satukan keinginan anaknya membuatku melihat ke dalam diri.
Tentu sebagai anak yang belum punya anak juga, bahasa kalbu mereka masih terasa asing dan hanya bisa ku sentuh permukaannya saja.
Karenanya aku kadang bisa sangat naif dan penuh amarah saat bercerita tentang hal yang ku anggap salah dari perlakuan mereka yang lebih tua ke aku dan kawan-kawan yang lebih muda.

Melihat wajah Beliau cerah memegang hati-hati ponsel pintar berwarna merah, menghangatkan hatiku. Tentu akan selalu ada waktu kita melihat orang tua sebagai sosok yang menjengkelkan, tidak adil dan lain sebagainya. Namun mengutip pernyataan salah satu Bapak kesayanganku, Will Smith, sebagaimana manusia biasa, orang tua juga masih belajar menjadi orang tua yang baik. Sama seperti kita yang juga belajar menjadi anak yang baik.

Sebenarnya tulisan ini sengaja dituliskan agar jadi satu perspektif baru dari tulisanku yang berjudul
Hal-hal yang Tidak Ku Katakan pada Mama  yang maaf jika dirasa memojokkan. Semoga semakin luas cara pandang kita dalam melihat sesuatu dan seseorang.
Semoga proses ini, menjadi orang tua dan anak yang sama-sama berjuang jadi baik tidak terlalu banyak drama menyakitkan sehingga hati kita kian mudah saling didekatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar