Jumat, 19 April 2019

Bicara Tuhan dengan Sederhana

Tentang kaidah, pengertian apalah lagi tentang tata cara pelaksanaan berbagai ritual aku masih sangat awam.
Terakhir kali saat menghadiri sebuah acara yang membawa tema Perempuan dan Kepenulisan, aku dibuat iri bukan main ketika diminta membuat kelompok untuk tulisan feature yang memanfaatkan hasil wawancara kami dan mengawinkannya dengan sumber pedoman agama. Perempuan-perempuan cantik dengan pakaian warna-warni dan senyum terlukis di bibir fasih menggumam berbagai ayat dan hadits sesuai konteks ditambah dengan terjemahannya.
Sedang aku hanya mengangguk angguk terkesima.


Perempuan-perempuan ini sekali lagi buat aku percaya bahwa mempelajari, paham dan berusaha meneladani inti sari spiritual yang mereka yakini bisa dengan bahagia dan penuh kasih,---tentang ini, maaf sekali jika sensitif, tapi aku pikir kita harus berhenti terpukau dengan penampilan luar seseorang. Nyatanya, baju putih, sorban dan berbagai atribut yang dulu jadi kode profil seseorang dan kelompok. Kini bisa sembarang dipakai untuk menyebarkan rasa takut dan kekerasan---- (ini kita bahas lain waktu).


Kembali ke bagaimana agama jadi pilar penting di negara ini dilihat dari berbagai dinamika yang terjadi, aku yang punya secuil pengetahuan pun berkali-kali terseret arus. Kadang saat bertemu dengan orang yang 'baru belajar' dengan semangat, aku jadi ikut 'semangat'. Mengharam-haramkan sesuatu dengan mudah tanpa belajar tentang konteks dan penyesuaian dengan latar belakang tempat tinggal serta waktu diterapkannya amalan.
Saat bertemu dengan yang malasnya minta ampun hingga hampir murtad, aku juga jadi ogah-ogahan. Ah yang penting wajib sudah tertunaikan.
Begitu terus sampai akhirnya paham, bahwa yang terbaik buat aku, versiku adalah mengambil berbagai pemahaman dari mereka semua.


Membicarakan agama selalu pelik. Ada yang mengatakan padaku bahwa, percaya adalah kuncinya, baru dilanjutkan dengan mata (akal dan indera).
Ada yang bilang, pakai dulu akalmu, karena Tuhan memberinya tidak cuma-cuma.
Keduanya benar dan bisa diterapkan sesuai dengan apa yang Tuhan firmankan. Ada hal-hal yang mesti kau lihat dengan logika dan ada yang memang rahasiaKu, ujarNya (lagi-lagi ini menurutku ya).


Belakangan saat tengah bertarung dengan diri sendiri secara mental dan tinggal di tempat yang tidak lagi homogen, aku mulai melihat realitas dengan cara berbeda.
Belum lagi ditambah dengan fakta mesti kehilangan seseorang karena kalah dengan depresinya dan berbagai carut marut kampanye pemilihan Presiden dan Legislatif, semakin aku ingin mengetahui hakikat agama dan yang lebih jauh lagi, hakikat berTuhan.


Aku mulai melihat agama sebagaimana artinya, sistem. Sekumpulan aturan yang bisa kita bicarakan dengan santai sambil minum kopi tanpa merasa takut dosa atau salah ucap. Agama mestinya adalah ruang, yang kita bisa isi dengan pertanyaan dan beragam pemaknaan,---- ini juga adalah pemahaman hasil diskusi kala itu, di Cikini lantai 2, bahwa kita bisa kok memberi makna dari sebuah ayat maupun hadits sesuai dengan pemikiran kita sendiri 'without feeling guilty', syaratnya, baca dan sensitif dengan yang ada di sekitar kita. Solat lalu bertebaran di dunia--- .


Aku yang dulu didukung dengan sistem belajar yang ada selalu takut membicarakan agama. Bagaimana kalau aku jadi terlalu bebal dan tidak tunduk.
"Kamu ini jangan terlalu pakai logika lah, gampang disusupi setan."
"Kami dengar dan taat, itu hukumnya."
Sedang di dalam diri ada pergumulan besar.
Kenapa merasa paling benar sedang mengklaim pihak lainnya salah padahal kita punya pedoman yang sama?
Kenapa mudah sekali merasa 'insecure' takut nanti kita dikuasai paham jni itu kalau membiarkan si A berkuasa?
Atau yang lebih menyedihkan, fakta bahwa sebagian kelompok merasa bisa mengambil hak hidup aman dari sekelompok orang atas dasar 'ajaran mereka sesat' nanti kami yang kena azabnya.


Pelan-pelan sekali aku mulai menerima bahwa sekelompok orang yang dijamin masuk surga seperti yang diklaim beberapa orang sebagai dasar bahwa kita harus masuk dan istiqomah pada satu golongan adalah pemahaman keliru. Bahwa sekelompok golongan yang kelak masuk surga adalah sekelompok manusia terbaik terlepas dari Mahzab, tempat tinggal, umur dan berbagai pembeda lainnya, namun dengan ikhlas beribadah dan menebar manfaat.


Bagian dari kelompok itu bisa jadi, Abang Kondektur yang tanpa lelah cari nafkah untuk keluarga dan tidak menzolimi penumpangnya dengan bilang, "masih kosong, masih kosong" padahal sudah tidak ada bangku tersisa.
Bisa Ibu penjual jamu gendong yang tiap minggu lewat, sepuh namun bersuara lantang. Tidak pakai alas kaki namun tidak pernah cemberut. Sambil menuangkan jamu dari bakul, dia akan bertanya satu dua pasal tentang hidup dan tidak lupa menasihati untuk selalu bersyukur.


Beragama, terlebih lagi berTuhan untukku sekarang adalah membayangkan sesosok zat yang tidak bisa digambarkan dengan akal dan indera. Menerima dan memeluk tiap jiwa yang kembali padaNya dengan kalimat, "Kamu pasti lelah. Ayo kembali ke rumah."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar