Kamis, 09 Maret 2017

Kamu masih di sana



Kamu duduk di sudut paling gelap. Selalu begitu. Awalnya satu persatu mereka akan mendekat, penasaran. Apa kamu baik-baik saja? Butuh ditemani? Tanya mereka dengan wajah prihatin dan kasihan. Kamu menjawabnya dengan senyum sambil menggeleng perlahan. Selalu begitu.
Mereka yang penasaran perlahan menjauh. Mulai berpikir kamu memang tidak suka keramaian, sebagian lagi berpikir kamu terlalu aneh untuk bisa berbaur. Kamu diam tanpa perlu memberi penjelasan.
Kamu suka sendirian, mengamati keramaian. Kamu suka melihat banyak wajah dan ekspresi yang berubah-ubah. Bertanya dalam hati, apa kamu juga punya satu dua ekspresi itu? Atau bolehkah kamu meminjamnya dari wajah-wajah mereka.
Bagimu, sejak hari itu. Hari dimana kamu sadar tiap orang disekitarmu hanya terikat pada kepentingan, kamu memutuskan melepaskan semua. Memilih sendirian.
Semua hubungan yang kini kamu jalani, kamu pilih dan sadari dengan perjanjian keuntungan. Bagimu itu semua lebih aman. Tidak akan ada yang berharap lebih, lalu kecewa.
.
.
.

Kamu masih di sana. Diam mendengarkan bisikan-bisikan pikiran yang mulai masuk ke kepala. Bagaimana kalau kamu sekalian saja menghilang pergi? Adakah yang terluka atau kehilangan? Kalau pun ada, untuk berapa lama sebelum mereka perlahan-lahan lupa lalu melanjutkan kehidupan seolah tidak terjadi apa-apa?
.
.
.
Kamu menertawakan pikiranmu namun tanpa sadar mulai melakukan persiapan melarikan diri. Mengecek tiap laci dan lemari. Membuka semua rahasia untuk menguburnya bersama mata yang selalu terjaga. Sebagian lagi kamu tenggelamkan dalam palung terdalam, meski kamu tidak bisa berenang.
Hari ke hari persiapan semakin sempurna untuk sebuah ketiadaan. Kamu tersenyum simpul. Puas.
.

.
.
Kamu dulu pernah berpikir dunia hanya memiliki warna-warni ceria. Kamu membayangkan masa depan dimana seluruh keidealan berhimpun. Selalu tersenyum ketika menutup halaman terakhir buku dongeng.
Dulu, sebelum kamu sadar kamu hanya sebuah proyek percobaan. Kamu diperlakukan sejauh tujuan Tuanmu berhasil kamu wujudkan. Nyatanya, kamu gagal. Dan mimpi burukmu berawal, entah kapan berakhir. Untuk itu, kamu telah mengambil keputusan untuk mengakhirinya sendiri.
Sepi.
Dalam kegelapan.
Tanpa salam perpisahan.
Tanpa permohonan maaf atau ucapan terima kasih.
Seperti kabut, seperti tanah yang basah, seperti bau debu yang ditimpa derasnya hujan.
Kamu menghilang.

Tanpa ada yang sadar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar