Rabu, 14 Agustus 2013

Lelaki Kakakku.


Gadis itu hari ini  menggeleng tegas, tak seperti hari-hari kemarin.

Cukup, ta. Ujarnya. Aku kalah, kita berhenti, dan untukmu terima kasih karena tlah bersedia menemani.
Aku diam, mencoba mencari sedikit celah keraguan dari dua bola mata berwarna hitam gelap miliknya.

Setelah sejauh ini, si ?

Sebelum aku kian tak terkejar dan masuk pusaran delusi yang kian besar dan gelap, semua masih bisa terselamatkan, masih ada yang bisa aku perbaiki selebihnya hanya akan aku coba tinggalkan disini.

Payung besar yang menutupi tubuh kurus berlapis kulit yang telah mengkerut, keriput, digenggamanku sejenak kusandarkan pada tanah lusuh berpasir putih dengan debu pekat berterbangan disapu angin, aku ingin mengambil jeda menggenggam tangannya, mencoba menguatkan.



Pria itu tak datang, setelah seminggu sejak suratnya datang, tempat dan waktu janji itu tertuliskan tlah sejak seminggu aku dan sisi tempati, menengok, memutar arah pandang hingga telah lengkap semua celah tersusuri oleh mata dan tanya. Tetap tak ada.

Wajahnya yang semula terhias senyum dengan binar jelas serupa sinar bintang perlahan memudar berganti setitik mantra yang mati-matian diulangi, sekedar menghibur kesenjaan emosi yang diam-diam disusupi isak penuh tuntutan rindu. Rindu bertemu, rindu sepi berbalas temu.

Perlahan sebelah tanganku membantu memapahnya, sebelah lagi mencoba menutupi tubuh rentanya dari sinar yang kian ganas menyengat, dengan payung hitam terbuka lebar, membuat bayang tubuhnya kian terpeta ringkih penuh jerih. Sudah tak ada sisa air mata di pipinya, tak ada lagi isak, mungkin tlah ditahannya sedemikian kuat.

----------------------------------------------------------------------------------
Sedang disebuah gang, terbang dimainkan angin, selembar bendera kuning yang lusuh, bendera itu ceria bermain mata dengan debu yang diam-diam mencari perhatian dengan sedikit rayuan dan colekan lemah di pipi sang bendera usang.

Di dalam gang, pada sebuah rumah sederhana orang-orang datang dengan pakaian hitam, berwajah duka dan ucapan belasungkawa. Perlahan masuk dan duduk melingkar, ditengahnya terbujur kaku dengan wajah sendu dan garis-garis kecemasan demikian jelas seakan yang melihat sedang menonton gambar tiga dimensi sarat kepedihan. Ada yang belum tersampaikan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar