image by weheartit |
‘Kamu masih
suka musim gugur?’
Aku tidak
ingat sebelumnya pernah begitu kaget dan menoleh secepat kilat seperti yang
kulakukan sekarang.
‘Kamu masih
ingat?’, tanyaku memastikan.
Kamu tertawa
pelan dengan tangan kanan yang menutup bibir, seolah takut aku mengintip.
‘Tentu saja,
pria lucu. Aku selalu ingat.’
Dan disinilah
aku, di tengah merahnya senja. Merasa angin yang menerpaku mendingin. Jaket ku
eratkan ke tubuh. Angin musim gugur.
.
Ini musim
gugur kedua setelah kami saling mengenal. Dia guru pindahan ke sekolah tempat
aku mengajar dua tahun belakangan.
Dia ramah
dan punya senyum cerah. Caranya bicara dan menyapa membuat orang-orang lekas
akrab dan menjadi teman dekat, bahkan aku yang pendiam bukan pengecualian.
.
‘Orang tua
ku meminta aku cuti dan pulang ke rumah sebentar.’
Itu adalah
kalimat terakhirmu hari itu. Anehnya aku menemukan sedikit keenganan di raut
wajahmu yang masih menunjukkan senyuman.
Karena ku
pikir itu tanda dari kelelahan, aku merasa tidak perlu bertanya.
.
Seminggu setelah
cuti panjang. Kamu kembali menjadi perempuan serupa, cerah dan merekah. Menyingkirkan
penuh kecurigaanku tentang perilaku tidak biasamu kala itu.
.
Musim gugur
hampir habis, hari itu kamu memutuskan ingin bicara sesuatu. Aku setuju.
‘Aku
dijodohkan.’
Aku tahu
musim favoritku akan segera pergi, aku kesal. Tapi mendengar ucapanmu barusan,
rasa kesal yang berbeda muncul memenuhi dada.
‘aku sudah
bertemu dengan orangnya. Sepertinya ia baik. Jadi kami memutuskan untuk saling
mengenal lebih jauh.’
Cerita 2/2 (Tamat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar